Pandemi wabah COVID-19 memberikan dampak yang cukup besar bagi industri perbankan tanah air. Industri ini yang tadinya sedang tumbuh kencang tiba-tiba merosot jauh dan dihadapi berbagai masalah.
Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, Anung Herlianto menjelaskan, industri perbankan Indonesia sebenarnya cukup kebal dan terus bertumbuh. Bahkan industri perbankan RI masih bisa bertahan dari gempuran gejolak perang dagang AS vs China.
"Dari sisi kinerja, terlepas dari waktu itu di 2015, 2016 ada taper tantrum, mini crisis, kinerja perbankan Indonesia terus meningkat. Sampai 2019, ada perang dagang AS-China tapi kita tetap tumbuh, yang meredakan pertumbuhan hanya masalah COVID-19 saja. Awal terjadinya COVID-19 di Desember sampai Mei itu benar-benar meredam pertumbuhan yang selama ini meningkat. Jadi luar biasa memang COVID-19 ini," ujarnya dalam acara InfobankTalkNews Media Discussion secara virtual, Kamis (9/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anung menjabarkan dari sisi aset perbankan terus menunjukkan kenaikan dari 2015 ke 2016 naik 10,4%, lalu 2017 naik 9,77%, 2018 naik 9,22% dan 2019 naik 6,13% jadi Rp 8.562 triliun.
Lalu dari sisi kredit juga tumbuh di 2016 9,6%, 2017 9,35%, 2018 tumbuh 6,54% dan 2019 tumbuh 6,54% jadi Rp 5.998 triliun. Sedangkan untuk dana pihak ketiga (DPK) 2016 tumbuh 7,87%, 2017 tumbuh 8,24%, 2018 naik 11,75% dan 2019 tumbuh 6,08% jadi Rp 5.616 triliun.
Namun setelah muncul COVID-19 laju pertumbuhan aset, kredit dan DPK perbankan RI merosot. Hingga Mei 2020 pertumbuhan total aset hanya 0,59%, kredit 2,93% dan DPK hanya 0,6%.
Perbankan juga makin selektif dalam penyaluran kredit di tengah persepsi tingginya risiko kredit seiring dampak pandemi COVID-19.
Lalu berdasarkan data biro riset Infobank, risiko kredit bank hingga April 2020 meningkat ke 2,89% secara gross, di sisi lain loan to deposit ratio (LDR) menurun ke 91,55%.
Hal itu pun diakui juga dirasakan oleh PT Bank Bukopin Tbk yang belakang ini ramai menjadi bahan perbincangan. Hal ini juga menjadi alasan bank ini melakukan penawaran umum terbatas yang berujung pada peningkatan kepemilikan KB Kookmin Bank.
"Menghadapi tekanan kualitas kredit, Bank akan melakukan penguatan internal untuk menjaga kualitas kredit serta melakukan percepatan penyelesaian kredit bermasalah," kata Direktur Utama Bank Bukopin Rivan A. Purwantono dalam acara yang sama.
OJK sendiri mencatat hingga 18 Mei 2020, sebanyak 95 bank telah mengimplementasikan restrukturisasi kredit pada 4,9 juta debitur dengan nilai outstanding Rp458,8 triliun.
Melihat hal ini, tentu perbankan butuh tambahan modal besar demi menjaga posisi likuiditas tetap terjaga, di tengah kondisi pandemi saat ini. Tidak peduli, jika kepemilikan saham pihak asing di suatu bank harus bertambah, asalkan kinerja bank bisa terangkat dan kembali kencang dengan setoran modal.
"Setor modal bagi bank adalah harus. Kita harus menghargai pemilik bank yang rajin setor modal, selain memperkuat bank, tapi sekaligus menunjukkan komitmen dalam membesarkan bank, karena bank itu bisnis jangka panjang yang padat modal," tambah Chairman Infobank Institute, Eko B Supriyanto.
Asal tahu saja, bank asing sendiri telah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia atau tepatnya sejak tahun 1746 yakni, De Bank Van Leening. Hingga saat ini total ada 42 Bank Umum di Indonesia yang dalam status kepemilikan asing.
Dari jumlah tersebut, Bank dalam kepemilikan asing yang asetnya di atas Rp 100 triliun di antaranya, Bank Danamon, CIMB Niaga, Maybank Indonesia, OCBC NISP, UOB Indonesia, Permatabank, dan MUFG Bank
"Porsi kepemilikan tidak menjadi masalah, yang penting kontribusinya kepada perekonomian Indonesia, menjalankan fungsi intermediasi agar dunia usaha berjalan , sehingga mampu menciptakan lapangan kerja dan pada akhirnya pajak meningkat," jelas Eko.
Ia mengungkapkan, ada 97% akuisisi bank dilakukan oleh investor asing, dan sisanya lokal. "Tidak jadi masalah, karena investasi ke bank selalu jangka panjang, dibandingkan investasi di pasar modal berupa hot money yang mudah terbang. Lihat saja juga, bank-bank BUMN yang go publik kan sahamnya banyak dikuasai asing dan dividen yang dibayar juga terbang. Harus diatur pembagian dividen yang bisa dibawa ke luar negeri. Itu yang penting, jangan diskusi asing atau non asing, lelah. Zaman sudah berubah," ucapnya.
(das/zlf)