Skema pembayaran balloon payment membuat cicilan mobil lebih rendah daripada skema kredit reguler. Lantas, bagaimana perbedaan perhitungan skema balloon payment tersebut?
Dijelaskan Direktur Utama Mandiri Utama Finance (MUF) Stanley Setia Atmadja, pembiayaan balloon payment memberikan keleluasaan bagi konsumen untuk memilih mobil dengan cicilan yang terjangkau. Hal itu dikarenakan dalam skema balloon payment, komposisi pembiayaan dibagi menjadi tiga poin, yakni uang muka (DP), pokok hutang (sekitar 40 persen dari harga mobil), dan sisa hutang sekitar 30 persen dari harga mobil.
Dengan skema tersebut, besaran cicilan menjadi lebih rendah dibandingkan penghitungan kredit reguler. Misalnya, mobil seharga Rp 1 miliar dicicil dengan balloon payment. Pembeli membayar uang muka sebesar 30 persen dari harga mobil (Rp 300 juta), jumlah pokok hutang yang dihitung bukan 70 persen sisa harga mobil, tapi hanya sekitar 40 persen atau Rp 400 juta. Sementara itu, sisa hutang Rp 300 juta dapat dilunasi di akhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Stanley mengatakan sisa pembayaran di akhir tersebut tidak lantas harus dibayar tunai oleh konsumen. Mereka bisa mengajukan cicilan kembali atau menjual dan tukar tambah mobilnya.
"Balloon payment ini bukan jadi beban (untuk konsumen). Bisa dicicil lagi misalnya dua tahun, atau jual saja itu mobil. Mungkin nilai (jual) masih 600 (juta rupiah), 200 (juta rupiah) jadi DP lagi (asumsi sisa hutang Rp 400 juta). Option itu membuat lebih banyak pilihan untuk konsumen," ujar Stanley.
Balloon payment, lanjut Stanley, memfasilitasi konsumen untuk memilih mobil di kelas yang lebih tinggi. Jika menggunakan pembiayaan reguler cicilan mobil Rp 700 juta dengan tenor 4 tahun berkisar Rp 12 juta, dengan balloon payment konsumen bisa mendapatkan nilai cicilan yang sama untuk mobil seharga Rp 1 miliar lebih.
"Ada beberapa (pertimbangan memberikan balloon payment), kita melihat bagaimana customer bisa meningkatkan pilihannya," sebut Stanley.
(ega/hns)