Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu berkomentar soal kebijakan penghapusan fasilitas kartu kredit untuk manajer, direksi dan komisaris yang didengungkan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ia pun mempertanyakan sikap Ahok yang baru bersuara sekarang padahal ia telah menjabat hampir 2 tahun sebagai komisaris utama.
Ia pun menyebut ada unsur cari popularitas dalam kebijakan tersebut.
Said Didu pun memberikan penjelasan. Pertama, kebijakan fasilitas kartu kredit ini sebenarnya telah dihapus saat ia aktif di Kementerian BUMN. Namun, ia tak tahu kenapa kebijakan itu muncul lagi.
"Itu pernah dihapus, kok hidup lagi. Itu lewat surat keputusan menteri itu dulu. Pernah, seluruh kartu-kartu tidak boleh ada atas nama perusahaan," katanya kepada detikcom, Selasa (16/6/2021).
Kedua, ia menyoroti soal Ahok yang hampir 2 tahun memegang kartu tersebut.
"Kedua saya melihat, Ahok ini karena dia sudah pegang hampir 2 tahun baru bicara sekarang. Berarti kan ada juga popularitasnya, cari popularitas," katanya.
Ketiga, saat ia mendapat posisi di PT Bukit Asam Tbk kebijakan serupa juga ada. Namun, para petinggi perusahaan memutuskan untuk menggunting kartu itu.
"Saya melihat bahwa kalau dia tidak setuju ya saat dikasih dong, dia ambil kebijakan, jangan digunakan hampir 2 tahun, dipegang hampir 2 tahun baru ngomong," ujarnya.
Keempat, ia tak yakin ada fasilitas kartu kredit dengan limit sampai Rp 30 miliar. Kelima, fasilitas kartu kredit itu menunjukkan jika pengelolaan BUMN amburadul.
"Kelima ini menunjukkan betul-betul pengelolaan BUMN amburadul, masa ada seseorang komisaris atau direksi boleh bertanda tangan puluhan miliar tanpa lewat apa-apa. Itu menurut saya betul-betul Ahok menunjukkan kegagalan dia memperbaiki good corporate governance. Masa ada seseorang membawa kartu kredit. Okelah walaupun tidak dipakai pribadi, itu salah ada seseorang boleh mengeluarkan miliaran rupiah hanya dia sendiri yang ambil keputusan," paparnya.
(acd/eds)