Jakarta -
Pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) akhirnya berhasil menyita aset salah satu debitur BLBI, Grup Texmaco. Aset yang disita adalah tanah seluas 4.794.202 meter persegi.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pun membeberkan kronologi awalnya, yaitu pada saat terjadi krisis keuangan tahun 1998, Grup Texmaco meminjam uang ke berbagai bank, mulai dari bank BUMN hingga swasta.
"Kemudian bank-bank tersebut di-bailout atau ditalangi oleh pemerintah pada saat terjadi krisis dan penutupan bank," katanya dalam konferensi pers, Kamis (23/12/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pinjaman yang tercatat dari Grup Texmaco, lanjut Sri Mulyani untuk divisi engineering mencapai Rp 8,08 triliun dan US$ 1,24 juta. Kemudian untuk divisi tekstilnya ada pinjaman sebesar Rp 5,28 triliun dan US$ 256,59 ribu. Belum lagi dirambah pinjaman dalam bentuk mata uang lainnya.
Utang tersebut dalam status macet pada saat terjadi krisis sehingga pada saat bank-bank tersebut dilakukan bailout oleh pemerintah, hak tagih dari bank-bank yang sudah diambil alih oleh pemerintah dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
"Dan dalam proses ini pun pemerintah selama ini masih cukup suportif terhadap Grup Texmaco, termasuk pada saat itu justru karena divisi tekstilnya masih tetap bisa berjalan, pemerintah melalui bank BNI memberikan penjaminan terhadap L/C-nya (Letter of Credit)," jelas Sri Mulyani.
Di dalam prosesnya, Grup Texmaco telah melakukan agreement atau persetujuan dengan pemerintah mengenai master of restructuring agreement. Itu ditandatangani sendiri oleh pemilik Texmaco. Dalam hal itu telah setuju bahwa utang dari 23 operating company Grup Texmaco akan direstrukturisasi dan dialihkan pada 2 holding company yang ditunjuk oleh pemiliknya, yaitu PT Jaya Perkasa Engineering, dan PT Bina Prima Perdana.
Simak juga Video: Jokowi Apresiasi Kesuksesan Aparat Berantas Korupsi Jiwasraya-BLBI
[Gambas:Video 20detik]
Kemudian untuk membayar kewajiban yang dimiliki oleh Grup Texmaco pada waktu itu disetujui bahwa Texmaco akan mengeluarkan Exchangeable Bond, di mana itu menjadi pengganti dari utang-utang yang sudah dikeluarkan melalui bank yang dijamin oleh holding company yang ditunjuk tersebut.
Exchangeable Bond tersebut memiliki bunga untuk rupiah dengan tenor 10 tahun sebesar 14% dan untuk yang non rupiah atau dolar AS sebesar 7%.
"Di dalam perkembangannya, kembali lagi Grup Texmaco gagal membayar dari kupon Exchangeable Bond yang diterbitkan pada tahun 2004. Dengan demikian pada dasarnya Grup Texmaco tidak pernah membayar kupon dari utang yang sudah dikonversi menjadi Exchangeable Bond tersebut," jelas Sri Mulyani.
Kemudian pada 2005, kembali pemilik Grup Texmaco mengakui utangnya kepada pemerintah melalui Akta Kesanggupan Nomor 51, di mana pemilik menyampaikan bahwa hak tagih pemerintah kepada Texmaco sebesar Rp 29 triliun berikut jaminannya.
Mereka menjanjikan akan membayar utangnya kepada pemerintah melalui operating company dan holding company yang dianggap masih baik, termasuk untuk membayar Letter of Credit (L/C) yang kala itu diterbitkan pemerintah untuk membantu perusahaan tetap beroperasi.
"Akan membayar tunggakan L/C yang waktu itu sudah diterbitkan oleh pemerintah untuk mendukung perusahaan tekstilnya sebesar US$ 80.570.000," sambungnya.
Dalam Akta Kesanggupan Nomor 51, lanjut Sri Mulyani, pemilik Grup Texmaco telah mengatakan tidak akan mengajukan gugatan kepada pemerintah.
"Dalam perkembangan selanjutnya, pemilik tersebut sekali lagi tidak memenuhi akta kesanggupan tersebut. Pertama malah justru melakukan gugatan ke pemerintah dan yang kedua menjual aset-aset yang dimiliki operating company-nya, yaitu yang tadinya memiliki kewajiban untuk membayar Rp 29 triliun, yang harusnya membayar ke pemerintah Rp 29 triliun justru menjual aset-aset yang seharusnya dipakai untuk membayar ke pemerintah," jelasnya.
Bahkan dalam berbagai publikasi di media massa, pemilik Grup Texmaco mengatakan utangnya ke pemerintah hanya Rp 8 triliun. Padahal akta kesanggupannya sudah menyebutkan memiliki utang Rp 29 triliun plus US$ 80,5 juta atas L/C yang diterbitkan namun tidak dibayarkan juga.
"Jadi dalam hal ini pemerintah sudah berkali-kali memberikan ruang bahkan mendukung agar perusahaannya yang memang masih jalan bisa berjalan, namun tidak ada sedikitpun ada tanda-tanda akan melakukan itikad untuk membayar kembali," tutur Sri Mulyani.
Oleh karena itu pada hari ini pemerintah melakukan eksekusi terhadap aset Grup Texmaco yang menurut Sri Mulyani selama lebih dari 20 tahun diberikan ruang dan waktu, kesempatan, dukungan dengan memberikan L/C jaminan hingga jaminannya itu terambil.
"Maka hari ini dengan melakukan penyitaan aset itu adalah bagian dari recovery, sedikit saja recovery dari aset negara dari jumlah utang Rp 29 triliun yang sudah diakui plus US$ 80,5 juta," tambahnya.