Jakarta -
Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) juga mengatur pungutan atau iuran yang diambil Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dari industri jasa keuangan. Sebelumnya, pungutan yang diambil ini digunakan sebagai biaya operasional OJK yaitu mengawasi dan mengatur sektor jasa keuangan.
Pungutan diambil dari persentase aset industri keuangan setiap tahunnya. Kini pungutan industri keuangan berada di bawah pengawasan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Ketua Panja RUU P2SK Dolfie OFP menjelaskan hal ini karena tugas OJK bertambah yaitu mengawasi serta mengurus koperasi simpan pinjam dan kripto. Dolfie menyebut pungutan OJK juga akan dikelola pemerintah baik melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atau BLU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nanti iuran dikelola pemerintah," kata Dolfie dalam pernyataan usai sidang paripurna, ditulis Jumat (16/12/2022).
Nantinya, OJK mengajukan anggaran tahunan ke pemerintah melalui Komisi XI DPR RI dan disampaikan ke Menteri Keuangan. Menurut Dolfie dengan tugas yang semakin banyak dan iuran yang terbatas, diharapkan dengan APBN kinerja OJK bisa tetap berjalan bahkan naik.
Saat ini anggaran OJK di kisaran Rp 7-7,4 triliun. Aturan ini akan diundangkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) tahun depan dan anggaran dibahas pada 2024 dan mulai berlaku 2025.
Masih Ada Pungutan Industri Jasa Keuangan
Dalam UU P2SK Pasal 37 berbunyi pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dikenai pungutan. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib bayar pungutan.
Pasal 37 ayat 3 poin a berbunyi hasil pungutan dapat digunakan sebagian atau seluruhnya secara langsung oleh OJK untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan. "Dalam hal terdapat hasil pungutan yang tidak digunakan sampai dengan akhir tahun anggaran maka dapat digunakan OJK pada tahun anggaran berikutnya," tulisnya.
Pada Pasal 37A pungutan yang dilakukan OJK sebelum berlakunya UU ini tetap berlaku hingga 2024.
Apa kata pengamat soal ini? Cek halaman berikutnya.
Menanggapi hal tersebut praktisi dan pengamat perasuransian, Irvan Rahardjo menjelaskan pungutan yang dilakukan OJK selama ini berasal dari industri keuangan dipungut berdasarkan aset, tidak berdasarkan pendapatan industri keuangan.
"Tentu saja menjadi sangat memberatkan bagi industri terutama di masa pandemi saat pendapatan menurun drastis. Dengan pengawasan yang lemah khususnya di industri keuangan nonbank, lalu banyaknya kasus investasi bodong dan gagal bayar, pungutan OJK dari industri dinilai tidak memberikan affirmasi bagi fungsi perlindungan konsumen," kata dia.
Irvan menjelaskan bukannya menurunkan pungutan, OJK mengeluarkan surat edaran batas bawah dan batas atas tarif premi asuransi sangat tinggi bagi nasabah yang dinikmati pelaku usaha asuransi.
"Boleh jadi untuk mengkompensasi keluhan pelaku usaha asuransi atas pungutan yang keduanya tetap saja menjadi beban nasabah. Berbeda, misalnya, dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang memungut premi dari perbankan, tetapi ada jaminan bagi nasabah simpanannya di bank diganti oleh LPS," jelas dia.
Menurut Irvan, sebaiknya OJK tidak memungut dari perbankan, namun bisa meminta kepada LPS sebagian premi yang disetor oleh industri perbankan. Jika OJK bekerja dengan baik mengawasi bank, maka tak ada bank yang perlu lagi ditalangi oleh LPS.
Apalagi perhitungan premi LPS dianggap sudah memberatkan dan tidak adil. Ada juga yang meminta agar pungutan yang melebihi kebutuhan OJK sebaiknya dikembalikan lagi untuk pemberian insentif kepada industri agar pungutan tahun berikutnya dapat diturunkan, karena OJK masih mempunyai dana untuk operasional.
Irvan membeberkan berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2018 BPK, secara keseluruhan, hasil pemeriksaan perencanaan dan penggunaan penerimaan pungutan OJK mengungkapkan empat temuan yang memuat sembilan permasalahan.
"Permasalahan tersebut meliputi tujuh kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), satu ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dan satu permasalahan aspek ekonomis, efisiensi, dan efektivitas (3E). Terdapat tiga hal yang perlu diperbaiki OJK. Pertama, terkait biaya administrasi seperti sewa gedung harus dievaluasi. Kedua, realokasi pegawai, belanja pegawai yang cukup jumbo bisa diatur kembali. Ketiga, besaran pungutan OJK ke bank sebaiknya diturunkan, sebagai insentif bagi bank yang mau merger dan akuisisi," jelas dia.