Sebanyak dua perusahaan keuangan yaitu Silicon Valley Bank dan Credit Suisse mengalami guncangan. Kondisi ini turut mempengaruhi pergerakan pasar keuangan. Kok bisa sih?
Mengutip Investors, Kamis (16/3/2023), saham Credit Suisse turun 25% dari perdagangan hari sebelumnya. Memang bank ini mengalami masalah sejak beberapa bulan terakhir akibat manajemen internal yang buruk.
CNN menyebutkan bahwa Credit Suisse akan meminta bantuan likuiditas dari Bank Nasional Swiss sekitar 50 miliar Franc Swiss atau setara US$ 53,7 miliar. Dalam sebuah pernyataan, Credit Suisse menyebutkan bantuan likuiditas ini diharapkan bisa membantu jalannya bisnis bank ke depan.
Credit Suisse, bank yang didirikan pada 1856 merupakan salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia. Bahkan masuk dalam bank global yang berdampak sistemik seperti JP Modgan Chase, Bank of America, dan Bank of China.
Sejumlah investor besar di Wall Street menyebut jika Credit Suisse ini memang sudah tersandung masalah sejak beberapa tahun terakhir, seperti masalah kepatuhan perusahaan yang merusak reputasi di mata klien dan investor. Kondisi ini juga membuat jajaran pejabat bank kehilangan pekerjaan mereka.
Pada tahun lalu nasabah menarik besar-besaran dana mereka di Credit Suisse, jumlahnya mencapai US$ 133 miliar dan pada waktu yang bersamaan bank rugi US$ 7,9 miliar. Ini merupakan kerugian terbesar setelah krisis keuangan global terjadi pada 2008.
Nah, bagaimana dengan Silicon Valley Bank?
![]() |
Silicon Valley Bank
Tak cuma Credit Suisse, Silicon Valley Bank juga sedang mengalami keruntuhan. Bahkan bank juga mencari opsi untuk perlindungan kebangkrutan. SVP sedang menjajaki strategi untuk pengalihan aset dan restrukturisasi.
Kejatuhan SVB dimulai saat bank sentral AS mulai mengerek suku bunga acuan tahun lalu untuk mengendalikan inflasi. Bank sentral menaikan bunga secara agresif yang membuat bunga kredit naik gila-gilaan. Kondisi ini justru membuat saham perusahaan teknologi melemah.
Selanjutnya bunga yang tinggi ini juga mempengaruhi nilai obligasi jangka panjang yang dimiliki SVB dan bank lain. Pasalnya mereka memiliki surat berharga itu di era suku bunga rendah.
Kini portofolio obligasi SVB senilai US$ 21 miliar menghasilkan rata-rata 1,79%, imbal hasil Treasury 10 tahun saat ini adalah sekitar 3,9%.
SVB juga sempat mengalami penarikan dana besar-besaran oleh nasabahnya. Hal ini membuat bank mengalami kesulitan likuiditas. Kemudian saham bank mulai anjlok pada Kamis lalu, banyak kalangan khawatir krisis 2008 kembali terjadi.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengungkapkan dengan adanya gagalnya Silicon Valley Bank (SVB) membuat pasar saham AS di bawah tekanan. Ada kekhawatiran kondisi ini akan mempengaruhi sistem perbankan di AS.
Namun di Indonesia, pelaku pasar meyakini sektor keuangan masih dalam kondisi aman dari dampak kebangkrutan. Sektor keuangan masih berada dalam situasi yang baik dengan pergerakan modal asing menuju emerging market.
Hal ini tercermin dari derasnya modal asing yang sudah masuk ke pasar finansial di dalam negeri. Di sisi lain, kasus SVB sendiri kemungkinan tidak akan besar dampaknya seperti kejatuhan Lehman Brothers di tahun 2008 yang membuat krisis ekonomi global.
"Dan dunia percaya AS bisa stabilkan sektor keuangannya karena akan berpengaruh terhadap sektor keuangan global yang saat ini masih bergejolak akibat operasi khusus Rusia ke Ukraina yang sampai saat ini masih kusut," ujar dia.
Walaupun tidak ada afiliasi yang terjadi pada sektor keuangan Indonesia dengan SVB, kebangkrutan ini tetap harus jadi hal yang perlu diperhatikan. Kalau melihat dari rasio kecukupan likuiditas atau liquidity coverage ratio Indonesia masih cukup tinggi sebesar 234% dibandingkan dengan negara lainnya yaitu Amerika Serikat (AS) 148%, Jepang 135%, dan China 132%.
"Tapi kita nggak boleh lengah tetap harus waspada dan perhatikan risiko bersama," tuturnya.
Simak Video 'Silicon Valley Bank Bangkrut Bikin Industri Teknologi Dunia Ketar-ketir':