Ini adalah kisah sukses kebijakan penanganan dampak ekonomi dari pandemi. Seperti diketahui, pada saat puncaknya, jumlah nasabah yang mendapat restrukturisasi mencapai 7,57 juta debitur dengan total nilai kredit mencapai Rp 971 triliun.
Terkait akan berakhirnya kebijakan restrukturisasi kredit atau pembiayaan pada Maret 2023 ini, sangat tepat kebijakan OJK yang secara selektif akan terus memberi dukungan pada kegiatan ekonomi pada segmen, sektor, industri dan daerah tertentu (targeted) yang memerlukan periode restrukturisasi tambahan.
Rasionalitasnya adalah karena pemulihan kegiatan ekonomi tidak seragam. Apalagi kedalaman 'luka' akibat pandemi juga tidak seragam pada semua sektor. Pilihan untuk memperpanjang relaksasi pada seluruh sektor pada segmen UMKM, sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum dan industri yang menyediakan lapangan kerja besar seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki sudah tepat dan melalui kajian yang komprehensif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil Pengaturan dan Pengawasan OJK
Resiliensi perbankan saat ini bukan sesuatu yang tercipta sendiri tetapi hasil proses panjang yang direncanakan melalui berbagai kebijakan yang diterbitkan OJK yang semuanya bertujuan meningkatkan daya tahan system dan institusi bank.
Salah satu peraturan OJK yang paling mendasar adalah terkait respons atas pandemi yaitu POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekononomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Virus Corona. Melalui ketentuan ini jalan tengah untuk menjembatani kepentingan debitur dan bank disediakan.
Apalagi setelah keluarnya POJK NOMOR 17/POJK.03/2021 tentang stimulus perekonomian nasional sebagai kebijakan countercyclical dampak penyebaran Corona Virus Disease 2019. Ini merupakan penyempurnaan POJK No. 11/ POJK.03/2020. Pemulihan ekonomi yang cepat dan relatif dapat ditanganinya problem produksi dan distribusi saat pandemi sehingga pertumbuhan ekonomi hanya mengalami kontraksi 2,06% merupakan kontribusi langsung dan tidak langsung dari program restrukturiasi kredit.
Kalau membandingkan krisis karena pandemi ini dengan krisis 1998, jelas pandemi ini lebih parah karena semua terdampak. Pertumbuhan ekonomi pada krisis 1998 mengalami kontraksi 13% lebih.
Terkait dengan kondisi permodalan yang semakin kuat di perbankan nasional, semua tidak lepas dari perencanaan yang matang OJK dalam tema besar konsolidasi perbankan nasional. Ini khususnya hasil dari POJK Nomor 12 /POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum yang dilaksanakan secara konsisten sehingga yang tidak memenuhi ketentuan diturunkan kelasnya menjadi BPR.
Satu bank yaitu Bank Prima Master diturunkan menjadi BPR. Ini merupakan hasil dari proses panjang yang sudah dimulai sejak 2016 ketika OJK menerbitkan aturan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang diatur dalam POJK Nomor 11 /POJK.03/2016. Ketahanan system perbankan saat ini adalah buah dan sekaligus manfaatnya dari program konsolidasi perbankan yang berhasil memperkuat struktur permodalan perbankan nasional.
Memang benar sistem perbankan Indonesia memiliki pengalaman atas beragam krisis sehingga memiliki pengalaman yang cukup untuk sekedar menghadapi dampak penularan (contagion effect) kejatuhan Silicon Valley Bank hingga Credit Suisse Bank. Namun semua tidak boleh lengah dan tetap bekerja keras untuk mempertahankan stabilitas system perbankan melalui peran masing masing.
Manajemen bank sebagai nakhoda harus terus mengambil langkah konsisten untuk penguatan manajemen risiko terutama untuk antisipasi risiko yang berasal dari ekonomi global seperti gejolak harga komoditas dan perkembangan geopolitik ekonomi.
Khusus kredit yang direstrukturisasi, bank wajib melakukan langkah-langkah terutama dalam rangka mengantisipasi kejadian yang tidak terduga khususnya kondisi bisnis dan prilaku debitur restrukturisasi. Pemantauan dan edukasi beserta konsultasi untuk makin mempercepat recovery kegiatan bisnis debitur sangat penting.
Bahkan jika diperlukan bank dapat menambah kredit (top-up) kalau prospek bisnis dan sikap debitur memenuhi ketentuan teknis kredit perbankan. Sementara bagi debitur debitur besar khususnya yang terkait dengan ekonomi internasional maka asesmen risiko bisnis internasional harus terus dilakukan.
Otoritas moneter harus belajar dari Amerika. Seperti diketahui hampir semua bank di Amerika sedang berjuang untuk bisa bertahan akibat kondisi suku bunga yang tinggi sebagai akibat dari kebijakan the Fed yang sangat egois memenuhi tugasnya yaitu stabilitas harga (inflasi).
The Fed terus menaikkan suku bunga demi perang melawan inflasi tanpa memperdulikan dampak kenaikan suku bunga yang tinggi dan cepat terhadap sektor riil dan keuangan. Kegagalan bank di Amerika adalah konsekuensi tidak diinginkan (side effect) dari naiknya suku bunga yang berlebihan.
Tentu saja tanggung jawab terbesar terletak pada manajemen bank untuk mengelola banknya dengan tata kelola yang baik dan akuntabilitas yang tinggi. Semua otoritas keuangan harus mengembangkan komunikasi yang baik dengan industri dalam arti menciptakan keterbukaan komunikasi sehingga problem-problem real yang selama ini tersembunyi bisa dideteksi dan dicari solusinya.
Kerja sama baik antara industri perbankan, otoritas dan deposan menjadi kunci menjaga daya tahan perbankan nasional.
Guru Besar UHW Perbanas dan Senior Economist Segara Institute Abdul Mongid
Simak Video "Video: Momen Teume Nobar TREASURE di Area Outdoor Allo Bank Festival 2025"
[Gambas:Video 20detik]
(ang/ang)