Sistem desentralisasi yang memberi kewenangan lebih pada pemerintah daerah diberlakukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Tak terkecuali pada bidang fiskal yang diharapkan dapat mendorong pemerataan kesejahteraan di seluruh pelosok negeri.
Filosofi mengenai desentralisasi ini selaras dengan Pasal 18 dari Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan 'NKRI dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan'.
Kebijakan desentralisasi ini diperkuat dalam Pasal 18A UUD 1945 Ayat 1 berbunyi 'Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pasal yang sama ayat 2, dinyatakan 'Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang'.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Luky Alfirman menegaskan kebijakan Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Fiskal ini menjadi alat untuk mencapai tujuan bernegara. Salah satunya pemerataan kesejahteraan di seluruh pelosok NKRI.
"Mengenai pengentasan angka kemiskinan ekstrem tidak akan tercapai bila hanya mengandalkan program-program pemerintah pusat. Perlu adanya dukungan program dari pihak yang paling kecil, yaitu pemerintah desa. Karena itu, harmonisasi kebijakan fiskal pusat dan daerah menjadi hal sangat penting," jelas Luky dalam keterangan tertulis, Senin (2/10/2023).
Kebijakan TKD dan Manfaatnya
Untuk mencapai pemerataan kesejahteraan di seluruh pelosok Indonesia, jelas Luky, pemerintah memberlakukan kebijakan Transfer ke Daerah (TKD) dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
TKD adalah suatu kesatuan pendanaan yang dialokasikan dari penerimaan negara. Kebijakan ini bertujuan mengurangi ketimpangan fiskal pusat dan daerah, serta ketimpangan fiskal dan pelayanan publik antar daerah.
Adapun kebijakan TKD TA 2024 meliputi (1) meningkatkan sinergi kebijakan fiskal pusat dan daerah serta harmonisasi belanja pusat dan daerah; (2) meningkatkan kualitas pengelolaan TKD; (3) memperkuat penggunaan earmarking TKD pada sektor prioritas; (4) meningkatkan efektivitas dan optimalisasi penggunaan TKD mendukung pencapaian program nasional; (5) menerbitkan pedoman/juknis dan regulasi yang sederhana, terintegrasi dan tersinkronisasi sebelum tahun anggaran dimulai; (6) meningkatkan harmonisasi kebijakan dan pengalokasian TKD untuk mengatasi stunting, kemiskinan, inflasi, dan investasi; dan (7) mendorong pemda agar menggunakan TKD untuk kegiatan yang produktif dengan multiplier effect yang tinggi.
Peningkatan TKD pada TA 2024 juga digunakan untuk menampung sejumlah kebijakan prioritas, antara lain: Dukungan terhadap penggajian Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Daerah serta kenaikan gaji pokok Aparatur Sipil Negara (ASN) Daerah; Peningkatan pelayanan publik di daerah; Dukungan operasional bagi sekolah, PAUD dan pendidikan kesetaraan; serta Dukungan penanganan kemiskinan ekstrem dan stunting di daerah.
Rincian TKD dalam APBN
Adapun alokasi TKD dalam APBN terus mengalami kenaikan dan peningkatan dalam satu dekade ini. Tahun 2014 alokasi TKD mencapai Rp 573,7 triliun. Tahun 2015 naik menjadi Rp 623,1 triliun. Tahun 2016 sebesar Rp 710,3 triliun. Tahun 2017 menjadi Rp 742 triliun.
Sementara itu, pada 2018 bertambah menjadi Rp 757,8 triliun. Pada 2019 meningkat sebesar Rp 813 triliun. Tahun 2020 senilai Rp 762,5 triliun. Tahun 2021 sebesar Rp 785,7 triliun. Tahun 2022 di angka Rp 816,2 triliun. Pada 2023 menjadi Rp 814,7 triliun dan pada APBN 2024 ditetapkan sebesar Rp 857,6 triliun.
Klik halaman selanjutnya >>>
Simak Video "Video: PKS Usul Dana Parpol dari APBN Jadi Rp 10 Ribu Per Suara"
[Gambas:Video 20detik]