Prestasi Sektor Keuangan: Stabil di Tengah Kekacauan Global

Kolom

Prestasi Sektor Keuangan: Stabil di Tengah Kekacauan Global

Abdul Mongid - detikFinance
Kamis, 19 Okt 2023 16:21 WIB
Ilustrasi Bank atau Perbankan
Foto: Infografis detikcom/Mindra Purnomo
Jakarta -

Dalam siaran persnya terkait hasil rapat bulanan Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), DK-OJK menyimpulkan bahwa stabilitas sektor keuangan nasional terjaga. Di tengah kekacauan ekonomi global (global economic chaos) karena kenaikan suku bunga tinggi, perang dagang, perang sanksi ekonomi dan lambatnya pemulihan ekonomi pasca pandemic COVID-19, keberhasilan menjaga stabilitas sector keuangan adalah prestasi yang membanggakan.

Wajar jika publik memberi apresiasi kepada OJK atas prestasi ini. Kesimpulan DK-OJK ini berarti sektor jasa keuangan Indonesia tidak sedang terjadi krisis dan sektor jasa keuangan secara umum mampu menjalankan fungsinya khususnya fungsi intermediasi bagi perekonomian.

Lebih lanjut dinyatakan stabilitas sektor jasa keuangan dapat terjaga sampai saat ini karena permodalan yang kuat (well capitalized), didukung oleh kondisi likuiditas yang cukup memadai, profil risiko yang aman dan bahkan profitabilitasnya cukup memadai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebenarnya keberhasilan ini juga karena aspek kualitatif yaitu kebijakan dan Moral Suasion OJK yang terus disampaikan agar kehati-hatian tetap dikedepankan oleh insan sektor jasa keuangan. Kinerja (Stabilitas Sektor Keuangan) ini tidak mudah dicapai karena perkembangan ekonomi global yang tidak menguntungkan.

Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, sektor keuangan selalu menjadi korban pertama dari setiap destabilisasi ekonomi global. Kebijakan Bank Sentral Amerika yang terus menaikkan suku bunga telah mendorong de-stabilisasi ekonomi di negara-negara berkembang. Pasar modal merosot, pasar obligasi/surat utang 'meltdown' dan nilai tukar merosot.

ADVERTISEMENT

Kebijakan The Fed yang menaikan suku bunga yang terus-menerus dengan kecepatan yang sangat tinggi telah membuat sektor keuangan di emerging market mengalami gangguan yang serius. Apalagi setelah Eropa dan Inggris juga menempuh kebijakan yang sama.

Prestasi

Indonesia adalah negara yang sistem keuangannya berbasis perbankan. Artinya selama sektor perbankan memiliki kinerja yang positif maka secara umum sistem dan sektor keuangan akan aman. Karena itu sangat tepat jika OJK selalu fokus untuk menjadikan sektor perbankan sebagai ujung tombak menjaga stabilitas sektor keuangan di Indonesia.

Ini merupakan pilihan kebijakan yang tepat walaupun ini bukan berarti bahwa sektor pasar modal, asuransi dan lembaga pembiayaan boleh berkinerja buruk. Sektor keuangan Indonesia yang stabil terutama didukung oleh kinerja sektor perbankan yang cukup stabil.

Lanjut ke halaman berikutnya

Ini dapat dilihat dari pertumbuhan sektor kredit yang masih positif yaitu sebesar 9,06%. Sementara itu Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh sebesar enam persen lebih diikuti dengan perkembangan LDR perbankan terus mengalami kenaikan menjadi 83%.

Dari sisi permodalan yang diukur dengan rasio kecukupan modal (CAR) angkanya cukup tinggi mencapai hampir 28%. Sementara dari sisi risiko kredit (NPL), angkanya saat ini cukup menggembirakan dalam arti NPL Gross sebesar 2,5% yang berarti terjadi penurunan dibandingkan pada bulan Agustus Tahun 2022 yang mencapai 2,88%.

Loan at Risk (LaR) juga mengalami penurunan dari 16,46% Agustus 2022, menjadi 12,55% pada Agustus 2023. Walaupun terjadi penurunan LaR namun kewaspadaan perlu ditingkatkan mengingat angkanya masih diatas 10%. Yang juga perlu menjadi perhatian berikutnya adalah jumlah kredit re-strukturisasi akibat pandemi COVID-19 yang nilainya masih Rp 326 triliun. Ini menjadi PR besar industri perbankan bersama OJK.

Kinerja laba perbankan nasional juga relatif sangat tinggi. Walaupun tingkat keuntungan yang baik ini dapat dibaca dari perspektif yang berbeda, namun yang pasti keuntungan ini berdampak positif.

NIM industri perbankan naik dari 4,73% menjadi 4,87%. Ini berarti di tengah kenaikan suku bunga, perbankan telah menikmati keuntungan berupa naiknya margin bunga. Sementara dari sisi laba yang diukur dengan ROA juga terjadi kenaikan dari 2,48% pada Agustus 2022 menjadi 2,74% di 2023.

Indikator-indikator diatas menunjukkan jika secara umum industri perbankan cukup mampu mengatasi kondisi ekonomi yang cukup berat ini dengan hasil yang baik. OJK menyadari bahwa tarjet pertumbuhan kredit yang tinggi sangat baik dampaknya bagi perekonomian.

Namun OJK juga menyadari bahwa kebijakan yang tidak agresif alias 'soft tone' agar bank realisitis dalam melihat perkembangan ekonomi yang terjadi. Saat kondisi bisnis, ekonomi makro dan kondisi global kurang prospektif, opsi membiarkan bank mengambil pilihan pertumbuhan kredit yang 'realistis' adalah kebijakan yang tepat.

OJK menyadari Stabilitas sektor perbankan atau keuangan tidak dapat diupayakan sendiri. Artinya sudah saatnya OJK berani melakukan "challenge" atas kebijakan BI dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) agar kenaikan suku bunga tidak hanya mempertimbangkan kepentingan 'keseimbangan imbal hasil' rupiah terhadap dolar AS namun juga mempertimbangkan kepentingan dunia bisnis nasional.

Fragmentasi Ekonomi Global

Tantangan ekonomi nasional sebagai imbas geopolitik dan geoekonomi ke depan makin berat. Ekonomi dunia menghadapi kondisi perang ekonomi secara tidak langsung (indirect economic warfare) khususnya persaingan antara Geng Barat yang diketuai Amerika Serikat, Rusia dan China.

Peperangan ini memang tidak dalam bentuk perang terbuka. Namun kita melihat beragam sanksi ekonomi yang kerap dilakukan barat terhadap China, Rusia dan Iran. Kita melihat realitas peperangan ekonomi ini sangat kuat.

Lanjut ke halaman berikutnya

Ketika terjadi konflik antara Rusia dan Ukraina, negara-negara Barat melakukan tindakan secara bersama-sama sebagai satu persekutuan untuk melakukan sanksi ekonomi secara besar-besaran terhadap Rusia. Berdasarkan data dari Atlantic Council of Economic tahun 2023 saja, ternyata sudah ada 13.000 sanksi terhadap Rusia.

Tentu saja sanksi ini juga dibalas oleh Rusia. Dunia menghadapi mengalami Geo Economic Fragmentation atau terpecah belahnya ekonomi ke dalam kelompok yang di mana terjadi semacam blok ekonomi. Ironinysnya, negara barat yang awalnya pendukung globalisasi ternyata ketika tidak lagi menguntungkan menjadi pelopor deglobalisasi.

Negara Barat juga menghambat perkembangan ekonomi China dengan melakukan sanksi yang ketat terhadap pengembangan teknologi tinggi di China. Konsep yang dikenal sebagai perang teknologi (Chip War) antara sekutu barat yaitu Amerika, Eropa, Inggris, Jepang dan Korea melawan China terus berlangsung dan selalu diikuti dengan sanksi ekonomi yang lain sebagai balasan sehingga ini menyebabkan ekonomi dunia kedepan mengalami ketidakpastian.

Perkembangan baru Timur Tengah terbaru di mana Hamas sukses melakukan serangan ke Israel juga akan membawa konsekuensi terhadap ekonomi global di mana negara-negara Arab akan mendukung Palestina, dan diperkirakan salah satu caranya adalah menjadikan minyak sebagai senjata. Persatuan negara Arab dan Rusia akan membuat krisis energi Eropa makin parah karena harga energi melambung tinggi.

Tantangan terbesar sektor keuangan ke depan adalah kebijakan dari Bank Sentral dunia selama dua tahun terakhir ini. Bank-Bank Sentral utama dunia, termasuk BI, menerapkan kebijakan moneter yang sepertinya terkoordinasi.

Mereka saling menaikan suku bunga sebagai upaya mengatasi inflasi. Sejak 2022 dunia menghadapi kembalinya inflasi tinggi akibat lonjakan energi dan pangan sebagaimana yang terjadi pada tahun 1980-an.

Ini terjadi pada negara maju dan negara miskin. Tentu negara miskin yang paling menderita akibat kebijakan bank sentral Amerika.

Dengan tujuan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat maka semua negara saat ini menjadikan inflasi sebagai musuh bersama dan menjadikan perang terhadap inflasi sebagai kebijakan prioritas.

Ibarat virus, semua bank sentral seluruh dunia meniru kebijakan yang dilakukan oleh Bank sentral Amerika dan Inggris yaitu kebijakan moneter ketat yang cepat dan terkoordinir. Bank Sentral Amerika, Eropa dan lainya secara terbuka menetapkan suku bunga kebijakan yang sangat tinggi.

Memang ini cukup berhasil di Eropa dan di Inggris di mana inflasi mereka telah menurun dari 11% menjadi sekitar 5%. Ke depan keadaan pasti tidak mudah karena Bank Sentral Amerika mengatakan bahwa kebijakan suku bunga tinggi akan terus dilakukan dan tentu ini berdampak pada transmisi ke negara-negara berkembang terutama dalam bentuk nilai tukar yang melemah.

Kita berharap agar semua otoritas ekonomi mengedepankan stabilitas ekonomi nasional pada umumnya dan stabilitas sektor keuangan khususnya sebagai prioritas dan sarana mencegah krisis ekonomi di tahun politik.


Abdul Mongid
Gurubesar UHW Perbanas
Senior Economist pada Segara Economic Research Institute



Simak Video "Video: Allo Bank Pastikan Layanan Aman, Tak Terkait Kasus Indra Utoyo"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads