Ketua Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar mengatakan, penetrasi asuransi di Indonesia saat ini terbilang masih sangat kecil. Hal ini menunjukkan minimnya masyarakat RI yang menggunakan asuransi.
Mahendra mengatakan, angka penetrasi asuransi di Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baru menyentuh angka 2,75%. Besaran ini masih kalah dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.
"Kita bisa bicara penetrasi masih kecil, kita bicara into the GDP masih kecil dan seterusnya. Tapi katakanlah penetrasi tadi 2,75% dikatakan berarti sekitar 7,5 juta orang dari 275 juta orang (penduduk Indonesia). Artinya kalau dari teori gelas penuh, setengah penuh ini masih kelas yang baru mulai diisi," kata Mahendra, di Shangri-La Hotel, Jakarta Selatan, Senin (23/10/2023).
Menurutnya, dari kacamata pesimistik angka ini terlihat sangat kecil. Namun demikian, menurutnya untuk orang yang paham, hal ini bisa menjadi peluang bagi industri asuransi untuk bertumbuh dan mencari peluang pemasukan baru. Atas hal ini, ia merasa bahwa persoalan ini bisa menjadi suatu masalah yang baik.
"It's not bad problem, it's a good problem karena ruang perbaikannya luar biasa besarnya dan potensinya bisa dikatakan tidak terbatas. Saya rasa batasannya kembali lagi how soon and how strong to regain confidence untuk melihat potensi pasar, usia, pendapatan perkapita, kebutuhan asuransi, semua ada di depan mata kita. The only challenge how to regain confidence," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan, Indonesia masuk ke dalam golongan negara yang sangat besar dengan jumlah populasi tertinggi ke-4 di dunia. Oleh karena itu sangat disayangkan angka penetrasi Indonesia tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya.
"(Penetrasi) kalah dibandingkan penetrasi dari negara-negara dari ASEAN padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia konsisten 5% dan diproyeksikan 2023 dan 2024 juga masih di kisaran 5%. Potensi itu lah yang mesti kita explore lebih lanjut yang akan kita jual," ujarnya, dalam momentum berbeda.
Angka penetrasi ini juga ditunjukkan dari angka inklusi dan literasi keuangan. Menurutnya berdasarkan data survei tahun 2022, angka inklusi asuransi hanya sekitar 16%. Sementara angka literasi dua kali lipatnya yakni 33%.
Angka di atas menunjukkan, banyak masyarakat yang telah mengerti asuransi, namun lebih dari setengahnya belum memilih untuk membeli polisnya. Adapun yang memutuskan untuk beli baru 16%.
Atas kondisi ini, Qgi mengatakan, pihaknya menyusun peta jalan alias roadmap pengembangan dan penguatan perasuransian Indonesia 2023-2027. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat industri asuransi sekaligus membangun kembali kepercayaan publik.
"Jadi kita menyusun roadmap ini komprehensif. Ada dua hal stream yang kita lakukan bersamaan. Pertama menyelesaikan current issue, menyusun penguatan industri asuransi ke depan. Perusahaan yang tidak sehat bagaimana kami memiliki pola penyelesaian yang bermasalah," kata Ogi.
"Kita juga punya tim task force untuk review (roadmap) setiap 6 bulanan mengenai realisasi implementasinya, komitmennya tinggi sehingga industri asuransi lebih kuat, sehat, dan berkelanjutan," pungkasnya.
(shc/kil)