Tolak Iuran Tapera, Pengusaha Kirim Surat ke Jokowi

Tolak Iuran Tapera, Pengusaha Kirim Surat ke Jokowi

Samuel Gading - detikFinance
Selasa, 28 Mei 2024 14:52 WIB
Foto udara perumahan subsidi di Bungursari, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (13/12/2023). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menetapkan batasan harga rumah untuk program Kredit Pemilikan Rumah dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) naik berkisar tujuh persen pada rentang Rp166 juta sampai Rp240 juta yang berlaku pada tahun 2024 mendatang. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/nym.
Foto: ANTARA FOTO/ADENG BUSTOMI
Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan menolak program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Program ini mewajibkan potongan gaji bagi pekerja sebesar 3% setiap bulan.

"Apindo telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera," kata Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, dalam keterangannya, Selasa (28/5/2024).

Shinta mengatakan, sejalan dengan Apindo, Serikat Pekerja juga menolak pemberlakuan program Tapera. Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sis pelaku usaha dan pekerja/buruh.

"Sejak munculnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, pihaknya sudah tegas menolak pemberlakuan undang-undang tersebut," tutur Shinta.

Saat ini,tambah Shinta, beban pungutan yang ditanggung pelaku usaha sudah mencapai angka 18,224% sampai 19,74% dari penghasilan kerja dengan rincian sebagai berikut.

Rincian Beban Pelaku Usaha kepada Pekerja menurut APINDO.

A. Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU No. 3/1999 'Jamsostek')

1. Jaminan Hari Tua (3,7%)
2. Jaminan Kematian (0,3%)
3. Jaminan Kecelakaan Kerja (0,24-1,74%)
4. Jaminan Pensiun (2%)

B. Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU No.40/2004 'SJSN')

Jaminan Kesehatan (4%)

C. Cadangan Pesangon (berdasarkan UU No. 13/2003 'Ketenagakerjaan') sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar (8%).

"Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar," kata Shinta. (rrd/rir)


Hide Ads