Heboh Iuran Tapera Potong Gaji Saat PHK Merajalela!

Samuel Gading - detikFinance
Selasa, 28 Mei 2024 18:04 WIB
Foto: Getty Images/iStockphoto/CentralITAlliance
Jakarta -

Pemerintah mengeluarkan kewajiban potongan gaji pekerja sebesar 3% untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kebijakan itu ternyata dikeluarkan di tengah tren tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan di Indonesia.

Melansir data di satudata.kemnaker.go.id, jumlah pekerja yang mengalami PHK di 34 provinsi mencapai angka 18.829 pekerja per-April 2024. Masih dari data tersebut, tren PHK terpantau naik selama 2024.

Pada Januari, jumlah tenaga kerja yang di PHK berkisar di angka 3.332 orang. Jumlahnya naik pada Februari menjadi 7.694 orang, kemudian Maret yakni 12.395 orang. Sementara jika diakumulasikan selama dua tahun kebelakang, jumlah PHK sepanjang 2022 adalah 25.114 orang, sementara 2023 mencapai 359.858 orang.

Selain karena fenomena PHK, Direktur Ekskutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkap kewajiban iuran Tapera tidak tepat karena diteken di tengah fenomena penurunan daya beli masyarakat dan konsumsi domestik khususnya dari kalangan kelas menengah.

"Kita bisa lihat misalnya dari upah riil, sampai tahun terakhir kemarin itu negatif pertumbuhannya, minus 1%, itu upah riil artinya upah nominal yang dikoreksi dengan tingkat inflasi," ucap Faisal kepada detikcom, Selasa (28/5/2024).

Faisal mengatakan upah riil yang negatif adalah tanda pendapatan masyarakat turun. Di sisi lain, proporsi pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi dan kredit juga semakin turun.

Hal serupa pun terlihat untuk pembelian barang-barang sekunder dan terseir seperti kendaraan bermotor dan pembelian rumah. Menurutnya, ini adalah tanda kemampuan finansial masyarakat sedang terbatas hanya untuk membeli kebutuhan dasar seperti makanan saja.

"Konsumsi untuk barang tersier dan sekunder turun, berarti sebetulnya kalangan menengah lagi terbatas untuk membeli barang2 kecuali basic needs untuk makanan," jelasnya.

Oleh sebab itu melihat berbagai fakta di atas, Faisal menilai kebijakan pemerintah yang mengeluarkan regulasi kewajiban untuk menyicil pembelian rumah lewat Tapera tidak tepat. Sebab, hal itu akan membebani konsumsi masyarakat khususnya untuk kebutuhan dasar.

Di sisi lain, Faisal mengatakan bahwa kemampuan kalangan pekerja swasta tidak bisa dipukul rata. Sebab, tingkat pendapatan masyarakat pada dasarnya berbeda-beda, apalagi di tengah berbagai keputusan pemerintah untuk menambah penerimaan negara.

"Kalau dipukul rata sekarang waktunya tidak tepat. pada saat yang sama pemerintah juga menetapkan tambahan biaya misalkan tambahan penerimaan ada beban tambahan cukai, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) mau dinaikkan, lalu subsidi dikurangi, ini artinya secara akumulatif akan membebani masyarakat. mengurangi beban APBN tetapi menambah beban masyarakat. (Kebijakan Tapera) Ini perlu dipertimbangkan," tegasnya.

Setali tiga uang, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menolak tegas kebijakan pemerintah yang mewajibkan potongan gaji pekerja sebesar 3% untuk Tapera. Menurut APINDO, kebijakan tersebut bakal sangat memberatkan elemen pekerja dan pelaku usaha.

"Sejak munculnya UU No. 4 Tahun 2016 tentang 'Tabungan Perumahan Rakyat' APINDO dengan tegas telah menolak diberlakukannya UU tersebut. APINDO telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera. Sejalan dengan APINDO, Serikat Buruh/Pekerja juga menolak pemberlakukan program Tapera. Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja/buruh," tulis Ketua Umum APINDO Shinta Kamdani, dalam keterangan resminya, Selasa (28/5/2024).




(rrd/rir)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork