Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani bicara dampak iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) terhadap pekerja dan pemberi kerja. Menurutnya, tanggungan iuran akan semakin membengkak.
Iuran Tapera ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera serta Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 2016 yang menjadi dasar TAPERA diteken pemerintah.
Gaji pekerja akan dipotong setiap bulannya sebesar 2,5% dan 0,5% ditanggung perusahaan. Menurut Shinta, iuran Tapera ini akan menambah beban baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini pemungutan yang ditanggung itu hampir 18,24% sampai 19,74%. Ini apa saja? Ada Jamsostek, Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), pensiun, jaminan sosial Kesehatan, ada cadangan pesangon, ada macam-macam. Jadi jumlahnya sekarang itu kalau ada penambahan lagi ini akan tambah beban semakin berat," kata Shinta di Kantor Apindo, Jakarta Selatan, Jumat (31/5/2024).
Di samping itu, dari porsi JHT BPJS Ketenagakerjaan, 30% di antaranya masuk ke Manfaat Layanan Tambahan (MLT) yang juga bisa digunakan untuk pengadaan rumah. Keberadaan iuran Tapera tersebut justru malah terkesan tumpang tindih dengan MLT.
"Jadi konsep sebenarnya penyediaan rumahan JHT itu sebenarnya bagus. Cuma mengapa kita harus dibebankan tambahan iuran lagi? Padahal saat ini juga sudah ada untuk siapan melalui JHT ini, program MLT. Jadi ini yang sebenarnya mendorong kami menyikapi bahwa pada prinsipnya, kami ini bukannya against Tapera, tapi dari sisi iuran yang harus ditambahkan dan dibayarkan kembali," ujarnya.
Shinta menambahkan, program JHT kini sudah berjalan dan jumlahnya dana yang dihimpun terbilang cukup besar mencapai Rp 136 triliun yang masih perlu dimaksimalkan pemanfaatannya. Oleh karena itu, Shinta berharap pemerintah mengoptimalkan program yang sudah ada daripada membuat yang baru.
Pihaknya melalui DPP Real Estate Indonesia (REI) juga tengah berupaya memperluas pemanfaatan MLT, salah satunya melalui kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, Himbara, hingga bank daerah untuk mengoptimalkan MLT Perumahan Pekerja.
"Jadi Rp 500 juta pinjaman KPR ya, kemudian pinjaman uang muka perumahan sampai dengan Rp 150 juta, malah kan renovasi perumahan juga ada sampai Rp 200 juta yang bisa dimanfaatkan (dari MLT). Jadi ini yang eksisting ini saya rasa sudah baik dan ini yang kita mau dorong terus," kata dia.
Di samping itu, Shinta menekankan bahwa pihaknya tidak menentang aturan Tapera hingga konsep besarnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui rumah yang layak. Namun, masalah utamanya terkait kewajiban atas pembayaran iuran tersebut.
"Kita bukan menggagalkan (UU dan PP) ya, sekali lagi ini kita coba merevisi dengan apa yang ada. Yang kita tolak itu adalah pembebanan iuran kepada kami, secara paksa, wajib, bukan sukarela. Kalau ini dibuat dengan konsep sukarela, kami tidak ada masalah, jadi kita bukan menolak UU dan PP-nya, ujarnya.
"Saya rasa kalau ASN, TNI, Polri mau jalankan karena ranah pemerintah, silahkan. Mungkin bermanfaat, tapi swasta bersama-sama serikat buruh, kami menilai perlu ada pertimbangan pemerintah untuk riviu kembali dan UU-nya. Karena UU disebutkan jelas ini adalah sebuah keharusan," kata Shinta.
Sebagai tambahan informasi, Apindo merincikan sejumlah kewajiban iuran lainnya yang ditanggung pekerja maupun pemberi kerja. Iuran tersebut antara lain PPh 21 sebesar 5-35% sesuai dengan penghasilan pekerja, BPJS Ketenagakerjaan (JHT) sebesar 5,7% yang ditanggung perusahaan 3,7% dan pekerja 2%.
Belum lagi BPJS Kesehatan dengan besar potongan 5% dengan tanggungan perusahaan 4% dan pekerja 1%, serta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
(shc/ara)