Kompaknya Pengusaha dan Buruh Gaungkan Tolak Iuran Tapera

Kompaknya Pengusaha dan Buruh Gaungkan Tolak Iuran Tapera

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Sabtu, 01 Jun 2024 12:00 WIB
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani (kedua kanan)/Foto: Shafira Cendra Arini/detikcom
Jakarta -

Pengusaha bersama serikat buruh menggelar konferensi pers bersama terkait dengan kebijakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam agenda tersebut, keduanya kompak menggaungkan penolakan atas kebijakan anyar itu.

Iuran Tapera ini dibahas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera serta Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 2016 yang menjadi dasar TAPERA diteken pemerintah.

Melalui aturan tersebut, nantinya gaji pekerja dipotong setiap bulannya sebesar 2,5% dan 0,5% ditanggung perusahaan dan berlaku mulai 2027. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menilai, iuran ini akan menambah beban baru.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita mungkin posisi pengusaha dan pekerja ini kadang-kadang berbeda, tapi kali ini kita dalam satu jurus (menolak iuran Tapera)," kata Shinta dalam konferensi pers bersama serikat buruh di Kantor Apindo, Jakarta Selatan, Jumat (31/5/2024).

Minta Iuran Tapera Tak Diwajibkan

Shinta menyatakan keberatannya apabila iuran tersebut diwajibkan untuk sektor swasta.Ia menilai, konsep Tapera sebagai tabungan lebih tepat dilakukan secara sukarela, bukannya kewajiban seperti yang tertera dalam UU tersebut. Lain halnya bila pemerintah mau menerapkannya untuk menghimpun iuran para pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

ADVERTISEMENT

"Saya rasa kalau ASN, TNI, Polri mau jalankan karena ranah pemerintah, silahkan, mungkin bermanfaat. Tapi swasta bersama-sama serikat buruh, kami menilai perlu ada pertimbangan pemerintah untuk riviu kembali dan UU-nya. Karena UU disebutkan jelas ini adalah sebuah keharusan," ujarnya.

Menurutnya, saat ini beban potongan yang telah ditanggung pemberi kerja maupun pekerja menyentuh 18,24% s.d 19,74% yang terdiri atas potongan jaminan sostek, jaminan hari tua (JHT), jaminan kematian, kecelakaan kerja, pensiun jaminan sosial kesehatan, hingga cadang pesangon. Karena itulah, ia menilai kalau Tapera akan memperbesar beban tersebut.

Alih-alih membuat kebijakan dan wadah baru, menurutnya lebih baik bila pemerintah mengoptimalkan program yang sudah ada yakni Manfaat Layanan Tambahan (MLT), yang juga bisa digunakan untuk pengadaan rumah. Adapun program tersebut merupakan bagian dari JHT milik BPJS Ketenagakerjaan.

"BPJS Ketenagakerjaan kita sudah mengiur, itu ada JHT, yang 30% dananya itu sudah bisa dimanfaatkan untuk layanan tambahan, dan bisa dipakai untuk beli rumah. Programnya ini sudah jalan, dan jumlahnya juga sudah besar. Itu sudah hampir Rp 136 triliun ya, 30% dari total JHT. Jadi menurut kami, ini buat apa gitu loh ada iuran tambahan lagi, kalau ini sudah ada programnya yang bisa dioptimalkan, justru kita mau memperluas pemanfaatan MLT," kata dia.

Dicuekin Jokowi hingga Mau 'Ngadu' ke MK dan MA

Di samping itu, Shinta juga merasa pengusaha ataupun buruh kurang dilibatkan dan disosialisasikan sebelum kebijakan tersebut resmi ditetapkan. Hal inilah yang menurutnya membuat banyak ketidaksesuaian dengan kebutuhan di lapangan. Pihaknya dan serikat buruh bahkan menyampaikan masukannya dan bersurat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2016 aturan awalnya dirilis.

Namun hingga saat ini, masukan tersebut belum ada respons dari pemerintah. Karena itulah, ia akan mengajukan judicial review (JR) agar kedua aturan Tapera ini bisa ditinjau kembali. Adapun pengajuan JR untuk UU akan dilakukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), sementara untuk PP sendiri akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA).

"Kami bersama buruh mencoba memberikan masukan lebih konkret kepada pemerintah. Sebelumnya sudah (disampaikan), tapi mungkin pemerintah tidak mendengar apa yang kami sampaikan," ujar Shinta.

"Kalau memang benar-benar kita nggak ada kesepakatan sama pemerintah pada akhirnya kan harus judicial review, kita upayakan dulu. Perlu klarifikasi lebih jauh, kenapa sikap kita begini, kita perlu ada public private consultation. Ini penting antara pemerintah dan pemangku kepentingan. Makanya kami tunggu itu terjadi dulu, sebelum kita mungkin nantinya akan mengambil sikap," sambungnya.

Senada, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mendukung langkah untuk mengajukan judicial review ke. Pihaknya juga tengah merancang pengaduan dan masukan-masukan yang kan disampaikan ke MA. Tidak menutup kemungkinan aksi besar-besaran juga akan dilakukan.

"PP 21/2024 kita memang akan bisa (ajukan riviu), sedang kita pikirkan apa yang mau kita bawa ke MA. Sebelum itu memang serikat buruh tidak serta-merta kita langsung turun aksi besar-besaran, itu ada hal-hal yang step-by-step yang kita akan bicarakan," kata Elly, dalam kesempatan yang sama.

"Misalnya seperti tadi kita katakan, di daerah akan beraksi dulu dengan cara seperti ini lalu kami menyiapkan kertas posisi punya kami bersama dengan APINDO dalam waktu dekat. Jelas pasti akan ada aksi turun ke jalan," imbuhnya.

(shc/ara)

Hide Ads