Bankir Asing Juga Wajib Punya Sertifikat Manajemen Risiko
Sabtu, 02 Jun 2007 15:00 WIB
Jakarta - Selain bankir lokal, para bankir asing yang bekerja pada bank di Indonesia juga diwajibkan untuk mempunyai sertifikat manajemen risiko. Hal ini dikatakan oleh Ketua Dewan Sertifikasi Badan Sertifikasin Manajemen Risiko (BSMR) Gayatri Rawit Angreni dalam konfrensi pers penyelenggaraan ujian sertifikasi manajemen resiko di Hall A Pekan Raya Jakarta (PRJ), Kemayoran, Jakarta, Sabtu (2/6/2007). "Sertifikasi yang kami laksanakan ini adalah standarisasi untuk bankir di Indonesia jadi semua sama bankir lokal maupun asing," imbuhnya. Dia mengakui, sebagian besar bankir asing telah mempunyai sertifikat manajemen resiko dari Global Association of Risk Professional (GARP) yang menjadi partner kerjasama BSMR dalam penyelenggaraan program ujian ini. "Tapi kami juga menginginkan bankir asing mengerti persoalan lokal yang ada di Indonesia, dan itu ada di dalam soal ujian," jelasnya. Dia menambahkan, soal-soal ujian juga bermuatan persoalan yang bernuansa lokal dan dikaitkan dengan peraturan-peraturan lokal setempat, selain persoalan internasional. "Jadi di tahun 2010, bankir asing juga harus memenuhi program sertifikasi dari BSMR," tambahnya. Gayatri menambahkan bahwa untuk bankir lokal keuntungan mempunyai sertifikat BSMR dapat dijadikan modal jika mereka mau bekerja di luar negeri. "Karena kita bekerjasama dengan GARP, maka bagi bankir yang mau bekerja di luar negeri sertifikatnya bisa di-convert menjadi sertifikat GARP," ujarnya.Gayatri juga mengatakan, pengelolaan manajemen resiko pada perbankan diperlukan untuk mencegah terulangnya krisis ekonomi yang penanggulangannya cukup mahal. "Jadi para bankir nantinya jangan melihat dari sisi sanksi yang akan diberikan jika dia tidak mempunyai sertifikat manajemen risiko, tapi lihat benefit-nya, dengan manajemen resiko diharapkan segala resiko yang dihadapi bankir bisa dikendalikan walaupun tidak bisa 100 persen," jelasnya. Dengan adanya program sertifikasi, para bankir diharapkan dapat menjadi pengendali sehingga pengelolaan resiko menjadi sustainable. "Kita tidak ingin krisis perbankan terulang kembali akibat bankir tidak dapat mengendalikan resiko, dan biayanya bagi pemerintah sangat mahal untuk recovery," imbuhnya.
(dnl/qom)