Industri reksa dana Indonesia terus menunjukkan perkembangan pesat. Hingga Agustus 2025, jumlah manajer investasi (MI) yang beroperasi di pasar modal nasional tercatat lebih dari 85 perusahaan. Mereka menawarkan beragam produk reksa dana, baik untuk investor ritel maupun institusi, dari saham, pendapatan tetap, hingga campuran.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lima MI tercatat menjadi referensi utama investor khususnya di segmen reksa dana saham dan pendapatan tetap. Di segmen reksa dana saham (termasuk saham offshore), kelima MI itu menguasai 42% dari total dana kelolaan atau Assets Under Management (AUM).
PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menjadi pemimpin dengan pangsa di atas 10% atau sekitar Rp 8,3 triliun.
Di bawah MAMI ada BNP Paribas Asset Management dengan AUM sekitar Rp 7,8 triliun, Schroders Investment Management Indonesia Rp 6,2 triliun, Batavia Prosperindo Aset Manajemen Rp 6 triliun, dan Ashmore Asset Management Indonesia Rp 5,9 triliun. Konsentrasi ini menunjukkan bahwa investor semakin cenderung mempercayakan dananya pada pengelola dengan rekam jejak panjang serta strategi investasi yang konsisten.
Pada instrumen reksa dana pendapatan tetap, konsentrasi dana bahkan lebih tinggi. Lima MI tercatat mengelola hampir 48% AUM industri. MAMI kembali menduduki posisi teratas dengan AUM Rp 22,3 triliun, diikuti Sinarmas Asset Management, Trimegah Asset Management, Surya Timur Alam Raya Asset Management, dan Bahana TCW Investment Management.
Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan tren ini menunjukkan kematangan industri reksa dana di Indonesia. "Investor sekarang lebih selektif. Mereka melihat konsistensi kinerja, kemampuan manajemen risiko, serta akses distribusi yang luas melalui bank maupun platform digital," ujarnya, Jumat (17/9/2025).
Menurut Wawan, tantangan MI saat ini adalah menjaga kinerja tetap kompetitif sekaligus membuat produk mudah dijangkau investor. "Distribusi menjadi faktor yang sangat menentukan. Produk yang kinerjanya bagus akan sia-sia kalau tidak sampai ke investor," tambahnya.
Meski lima besar MI menjadi barometer, peluang tumbuh bagi MI lain masih besar. Pendorongnya adalah jumlah investor reksa dana yang kini sudah menembus 16 juta orang. Meskipun rata-rata nominal investasi ritel relatif kecil, akumulasi dana yang terkumpul signifikan.
"Pertumbuhan dana kelolaan setahun terakhir mencapai Rp 50 triliun, dan sebagian besar justru dari ritel yang masuk ke pasar pendapatan tetap," jelas Wawan.
Berdasarkan catatan Infovesta, dalam tiga bulan terakhir pembelian produk lewat bank oleh investor ritel bisa mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah per bulan. "Kontribusi ini jelas tidak bisa dianggap remeh. Jika tren ini bertahan, akhir tahun AUM industri berpeluang mencapai Rp 600 triliun. Bahkan bisa Rp 700 triliun di akhir 2026, dan itu bisa menjadi rekor baru," ujarnya.
Rekor AUM sebelumnya terjadi pada 2021, yakni Rp 580 triliun. Saat itu, motor utama pertumbuhan adalah investor institusi, terutama perusahaan asuransi. Kini, pendorong utama justru datang dari investor ritel yang semakin sadar akan pentingnya diversifikasi investasi.
Dengan besarnya potensi dana yang akan masuk ke produk reksa dana, Wawan optimistis industri MI akan terus berkembang. "Dengan literasi keuangan yang meningkat, penetrasi digital yang makin luas, serta inovasi produk dari para MI, industri reksa dana bisa menjadi pilar penting bagi pendalaman pasar modal Indonesia," kata Wawan.
Tonton juga video "Belajar Investasi dari Semut" di sini:
(rrd/rrd)