Bahkan Anda bingung ke mana uang tersebut habis terpakai. So kali ini kita mengupas apa itu latte factor dan hubungannya latte factor dengan keuangan?
Jadi apa yang dimaksud dengan Latte Factor? Untuk mudahnya kita pakai sebuah cerita di mana Lia adalah seorang karyawati di sebuah perusahaan swasta yang berkantor di kota besar. Ia sangat gemar minum kopi di kedai kopi yang satu gedung dengan kantornya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap bulannya, tanpa disadari Lia dapat menghabiskan antara Rp 600.000 sampai Rp 1 juta, hanya untuk membeli kopi untuk menemani rutinitas bekerja. Apakah terasa berat? Bagi Lia yang menjalaninnya tentu ini tidak terasa, justru gaya hidup seperti ini memberi kesenangan tersendiri bagi Lia.
Oleh karena itu, kebiasaan seperti ini sulit dilepaskan dan ditinggalkan, mungkin saja kebiasaan ini sebenarnya bukan sebuah kebutuhan yang sedari awal harus dipenuhi.
Istilah Latte Factor dipopulerkan oleh David Bach, penulis buku finansial ternama. Latte factor adalah pengeluaran untuk hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan, yang terlihat kecil dan tanpa sadar dilakukan terus menerus, hingga akhirnya membuat pengeluaran membengkak dan menjadi besar.
Baca juga: Yakin Uang Tak Bisa Beli Kebahagiaan? (2) |
Beberapa latte factor yang biasanya ada di masyarakat adalah pengeluaran untuk minum kopi, pengeluaran untuk makanan ringan, rokok, transportasi online, air minum, biaya transaksi perbankan dan pengeluaran-pengeluaran kecil lainnya yang tanpa kita sadari dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Kita bahkan tidak menyadari berapa besar biaya yang kita keluarkan untuk pengeluaran tersebut. Tetapi jika kita memikirkannya lebih dalam dan mengubah kebiasaan tersebut, mungkin kita dapat mengubah masa depan kita. Nah kali ini kita akan mengupas hal-hal apa saja yang menjadi latte factor kebanyakan orang.
Kopi
Kita masih membahas hal yang sama seperti di atas yaitu mengenai kopi. Tenang kita di sini bukan untuk menjudge, namun mencoba sharing bersama, Apakah Anda salah satu penggemar kopi? Jika Anda penggemar kopi, di manakah Anda biasa minum kopi?
Jika Anda terbiasa untuk membeli kopi dengan brand terkenal dan harga berkisar Rp 30.000 sampai Rp 50.000 bahkan lebih, apakah anda membeli tersebut karena menyukai dan menikmatinya kopinya atau karena gengsi?
Banyak di antara kita termasuk Lia yang sudah terbiasa meminum kopi tidak hanya sekali dalam sehari, bisa jadi setiap sehabis makan atau setiap meeting.
Bisa jadi kopi tersebut tidak dapat dinikmati pada saat meeting, atau pada saat jam-jam sibuk di kantor. Dalam sebagian besar keadaan, membeli kopi untuk diminum hanya karena kebiasaan membeli kopi tersebut.
Jika memang demikian, bayangkan jika Anda mengubah kebiasaan membeli kopi tersebut, dengan menyeduh kopi sendiri di kantor, selisih harga sebesar Rp 10.000-40.000 setiap gelasnya dapat membuat perbedaan yang signifikan dalam setiap bulannya.
Anda tetap dapat menikmati kopi kesukaan anda sewaktu-waktu pada saat senggang, bukan karena pola kebiasaan Anda tersebut.
Disclaimer: artikel ini merupakan kiriman dari mitra yang bekerja sama dengan detikcom. Redaksi detikcom tidak bertanggung jawab atas isi artikel yang dikirim oleh mitra. Tanggung jawab sepenuhnya ada di penulis artikel. (ang/ang)