Yakin Uang Tak Bisa Beli Kebahagiaan? (2)

Yakin Uang Tak Bisa Beli Kebahagiaan? (2)

Baratadewa Sakti P - Aidil Akbar Madjid & Partners - detikFinance
Selasa, 09 Jul 2019 07:50 WIB
Ilustrasi Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Benarkah banyak uang membuat seseorang menjadi bisa lebih bahagia? Dalam artikel sebelumnya di bagian akhir dibahas bahwa studi tentang hal ini menunjukkan bahwa mereka yang penghasilannya sebesar Rp 5 juta per bulan akan memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan seseorang yang berpenghasilan Rp 2 juta per bulan.

Begitu pula bagi yang berpenghasilan Rp 70 juta per bulan akan memiliki tingkat stres yang jauh lebih rendah dibanding seseorang yang berpenghasilan Rp 20 juta, Rp 5 juta dan tentu yang berpenghasilan Rp 2 juta per bulan.

Namun tidak demikian bagi mereka yang telah mencapai penghasilan sekira Rp 90 jutaan per bulan, yang hanya akan memiliki kebahagiaan yang berada di bawah sedikit dari seseorang yang berpenghasilan sebesar Rp 200 juta per bulan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dan ketika penghasilan seseorang telah mencapai lebih Rp 230 juta per bulan, ia akan memiliki pengurangan tingkat stres yang sama sekali tidak berbeda dibanding orang lain yang penghasilannya mencapai Rp 500 juta atau Rp 10 Miliar per bulan sekalipun.

Maka berdasarkan studi yang dilakukan para pakar keuangan dan psikologi ini hingga akhirnya membuat Deaton diganjar dengan nobel bidang ekonomi di tahun 2015, menunjukkan ternyata sains dapat membuktikan bahwa uang tak selalu dapat menjadi ukuran kebahagiaan seseorang.

Uang hanya dapat menambah indeks kebahagiaan seseorang ketika penghasilannya mencapai nominal Rp 90 jutaan per bulan. Dan pada sisi lainnya, studi ini juga membuktikan bahwa secara umum, semakin tinggi penghasilan seseorang, justru akan semakin mengurangi peranan uang terhadap indeks kebahagiaan seseorang.


Kalau begitu, studi yang dilakukan Deaton, Kahneman dan Clingingsmith tersebut ternyata baru bisa membuktikan bahwa uang akan berhenti memberikan kebahagiaan pada tingkatan nominal tertentu, namun tetap belum dapat menjawab pertanyaan yang menjadi judul artikel ini.

Oleh karena itu, mari kita mencoba perhatikan hasil studi Sanjiv Chopra, seorang Profesor medis dari Harvard Medical School di Amerika Serikat yang telah menulis sejumlah buku tentang kebahagiaan. Insya Allah kita akan mulai menemukan jawaban mengapa uang tak selalu dapat berdamai dengan kebahagiaan.

Chopra berkata bahwa ketika seseorang memiliki uang yang banyak, "Sebagian uang tersebut mungkin akan digunakan untuk membeli rumah besar atau mobil mewah. Mungkin kemudian mereka juga akan menghabiskan semuanya untuk berjudi. Namun meski begitu, setelah tiga bulan, rumah yang tadinya dirasa sebagai sebuah rumah yang mewah atau mobil yang bagus, rasa itu berangsur-angsur berubah hanya sebuah rumah, itu hanya sebuah mobil, yang membuatnya memiliki rasa yang biasa biasa saja dengan memiliki hal yang tadinya dianggap mewah itu."

Chopra menyebut fenomena ini termasuk dalam istilah hedonic adaptation, yaitu suatu konsep kebahagiaan yang mengacu pada kecenderungan umum orang untuk kembali ke tingkat kebahagiaan yang ditetapkan terlepas dari naik turunnya kehidupan.

Chopra kemudian berkata bahwa sesungguhnya ada beberapa hal secara ilmiah yang memiliki keterkaitan kuat dengan indeks kebahagiaan seseorang, salah satu yang paling berpengaruh adalah kebiasaan berbagi.

Keterlibatan seseorang pada kegiatan amal dengan mendonasikan uangnya untuk membantu orang lain adalah salah satu cara yang paling memuaskan untuk menghabiskan waktu dan uang seseorang.

Hal ilmiah harus ditunjang dengan suami penelitian dong. Seperti apakah hasil penelitiannya? Kita akan bahas di artikel berikutnya.


Disclaimer: artikel ini merupakan kiriman dari mitra yang bekerja sama dengan detikcom. Redaksi detikcom tidak bertanggung jawab atas isi artikel yang dikirim oleh mitra. Tanggung jawab sepenuhnya ada di penulis artikel.


(ang/ang)

Hide Ads