Menurut penulis, prioritas yang harus dibayarkan selanjutnya setelah kebutuhan prime cost dipenuhi adalah membelanjakan makanan jadi, kebutuhan dapur serta membeli paket telepon & internet. Baru kemudian yang menjadi prioritas selanjutnya adalah membayar utang, menyisihkan pos dana darurat dan pos kebutuhan bersedekah.
Dengan mengasumsikan dalam hitungan bulanan, maka rincian pembelanjaan keluarga pak Firman adalah sebagai berikut:
Rp 400.000 untuk makanan jadi berupa lauk & sayur
Rp 100.000 untuk kebutuhan dapur
Rp 100.000 untuk susu balita
Rp 200.000 untuk paket telepon & internet
Rp 100.000 untuk arisan, keamanan dan kebersihan lingkungan
Rp 400.000 untuk angsuran motor
Rp 130.000 untuk pos dana darurat/cadangan
Rp 100.000 untuk pos sedekah berupa pakaian & anggaran rekreasi keluarga
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berkaca dari kondisi pembelanjaan keluarga pak Firman, hal ini dapat pula digunakan sebagai tambahan pemahaman bagi generasi milenial, bahwa jika besaran nilai nominal angsuran utang cukup besar, maka pos dana darurat dan sedekah dapat digunakan juga untuk menambal kekurangan pembayaran kewajiban/utang.
Bahkan seandainya masih kurang, maka sebagian anggaran kebutuhan dari selain prime cost pun dapat dikurangi sebagian untuk membantu menutup kekurangan anggaran pembayaran kewajiban.
Langkah ketiga,
Tips pengelolaan selanjutnya adalah pada saat persoalan pos anggaran pembayaran kewajiban dapat terkendali, maka pos dana darurat yang telah mencapai jumlah ideal (untuk keluarga dengan 1 anak sebesar 6 bulan belanja kebutuhan rutin) dapat dialihkan masuk ke pos investasi. Pos Investasi ini yang kelak akan membantu mewujudkan rencana rencana prioritas seseorang di masa depan.
Baca juga: Mengatur Keuangan ala Keluarga Milenial (2) |
Perlu menjadi catatan pula mengapa penulis menggolongkan anggaran belanja pakaian & rekreasi keluarga termasuk sebagai pos sedekah? Sebab sedekah terbaik adalah yang dimulai dari orang-orang yang menjadi tanggungan kepala keluarga.
Ketika istri & anak-anak mendapatkan prioritas sedekah yang pertama, maka suasana keharmonisan keluarga akan semakin mudah dicapai. Dan dengan kondusifnya suasana yang terbentuk dalam keluarga, hal tersebut akan menjadikan rasa psikologis yang terbangun menjadi positif, sehingga motivasi untuk mencari nafkah dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan dari bisnisnya akan semakin besar pula peluangnya.
Mengapa demikian? Sebab orang yang bekerja/berbisnis dengan hati yang penuh sukacita dibanding bekerja/berbisnis dengan suasana hati yang tidak menentu, tentu akan berbeda pula terhadap peluang hasil yang akan diperolehnya.
Hikmah penting yang dapat kita petik dari contoh tersebut, bahwa dengan berbelanja sesuai prioritas dan tetap menyisihkan sebagian penghasilan untuk sosial/sedekah sebagai kebutuhan, pengeluaran akan lebih terkendali.
Dan kebiasaan bersedekah atau kebiasaan berbagi ini akan mengikis sifat kikir dan keserakahan, dan pada akhirnya menjadikan kita lebih dekat kepada kesederhanaan. Sikap sederhana ini yang kemudian akan menjaga kita untuk tidak tergoda membelanjakan uang secara berlebihan meski jumlah harta semakin melimpah.
Kalau begitu, bagaimana menurutmu terhadap tips mengatur keuangan untuk kaum milenial ini sehingga gak bikin baper lagi meski penghasilan habis-bis? Tertarik untuk mencoba?
Disclaimer: artikel ini merupakan kiriman dari mitra yang bekerja sama dengan detikcom. Redaksi detikcom tidak bertanggung jawab atas isi artikel yang dikirim oleh mitra. Tanggung jawab sepenuhnya ada di penulis artikel.
(ang/ang)