Perencana Keuangan Aidil Akbar menjelaskan, jika nominal uang yang kita pinjamkan dirasa tidak besar seharusnya bisa diikhlaskan. Namun jika nominalnya dirasa cukup besar ada langkah-langkah yang seharusnya dilakukan.
"Kalau masalah besaran nominal itu kan setiap orang tentunya berbeda-beda. Kalau dirasa nominalnya besar ya sebaiknya dilakukan perjanjian tertulis," terangnya kepada detikcom, Senin (23/11/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aidil menyarankan untuk membuat perjanjian tertulis yang ditandatangani kedua belah pihak di atas materai. Bisa disertakan juga fotocopy KTP dari kedua belah pihak sebagai pelengkap.
"Kalau dia memang serius mau meminjam utang pasti dia mau untuk tanda tangan. Kalau dia tersinggung dan tidak mau bikin perjanjian ya berarti kita ada alasan untuk menolak. Jangan takut hubungan akan rusak dengan buat perjanjian, karena toh dengan tidak buat perjanjian hubungan berpotensi rusak juga ketika kita nagih nantinya," terangnya.
Kedua, jika nominal utangnya juga dianggap besar, pastikan ada saksi dari pihak pemberi pinjaman saat menandatangani perjanjian.
Ketiga, jika memungkinkan ada barang yang bisa dijadikan jaminan. Barang-barang yang dimaksud bisa disesuaikan dengan besaran utang yang diberikan.
"Yang paling penting jangan pernah transfer atau kasih uangnya sebelum perjanjian diteken. Karena biasanya sering tuh butuh uangnya cepat, dia iya iya aja. Jangan mau seperti itu," terangnya.
Perencana keuangan dari Tatadana Consulting, Tejasari Asad juga menyarankan hal yang serupa. Namun menurutnya surat perjanjian yang dibuat hanya sebagai pengingat besaran utang yang diberikan dan perjanjian tanggal pengembaliannya.
"Jadi menurut saya pakai materai atau enggak ya sama aja, yang penting ada bukti. Kalau jumlahnya besar biasanya kan pakai notaris, itu kalau mau lebih legal," ucapnya.
Meski begitu, Tejasari lebih menyarankan untuk memberikan pinjaman utang sesuai dengan besaran batas keikhlasan masing-masing. "Jadi kalau dia nggak balikin ya anggap saja sedekah," tutupnya.
(das/eds)