Banyaknya pilihan dalam investasi terkadang membuat bingung para pemilik modal untuk menentukan instrumen yang paling baik. Apalagi untuk para pemula yang baru mau belajar investasi.
Pilihan investasi seperti obligasi atau reksa dana yang banyak dipilih investor, kerap membuat orang bertanya-tanya, lebih baik mana di antara kedua itu?
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan mengatakan kebutuhan investasi dan toleransi risiko setiap investor berbeda. Oleh karena itu, pemilihan instrumen investasi sebaiknya disesuaikan dengan profil risiko dan kebutuhan masing-masing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun bagi investor yang mengutamakan stabilitas, reksa dana obligasi dapat menjadi pilihan. Sementara bagi investor yang memiliki jangka waktu investasi panjang dapat mempertimbangkan reksa dana saham sebagai pilihan.
"Seperti yang disampaikan sebelumnya, pasar saham dan obligasi Indonesia masih memiliki potensi upside yang menarik ke depannya. Yang membedakan adalah volatilitas pasarnya. Sesuai dengan karakternya dan juga iklim ekonomi yang ada saat ini, reksa dana saham akan memiliki tendensi volatilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi yang cenderung lebih stabil," kata Katarina, Senin (13/7/2020).
Pada level IHSG saat ini pasar saham dianggap menawarkan potensi menarik bagi investor yang memiliki horizon investasi jangka panjang. Meski begitu, kesuksesan pemerintah mengatasi pandemi selama new normal menjadi faktor penting dalam mendorong kinerja pasar saham.
"Menurut kami pasar belum memperhitungkan (pricing-in) potensi perbaikan ekonomi dan kinerja emiten di 2021. Per akhir Juni 2020 IHSG mencatatkan kinerja -22,1% year-to-date, kinerja tersebut mengindikasikan kalau pasar sudah memperhitungkan potensi pelemahan fundamental emiten tahun ini di mana konsensus pasar memperkirakan laba emiten IHSG akan mengalami kontraksi 22% di 2020," jelasnya.
"Di sisi lain, konsensus pasar memperkirakan laba emiten berpotensi membaik di 2021 dengan pertumbuhan 24%, faktor ini sepertinya belum diperhitungkan dalam level IHSG saat ini sehingga masih memberi potensi upside bagi investor," tambahnya.
Selain itu, Katarina menganggap pasar obligasi Indonesia masih menawarkan potensi yang menarik dengan melihat beberapa faktor:
- Global yield hunt. Kebijakan moneter dan fiskal longgar secara global mendorong imbal hasil obligasi global untuk turun ke level yang sangat rendah mendekati 0% atau bahkan negatif. Kondisi ini berpotensi untuk mendorong investor global untuk mencari instrumen investasi dengan imbal hasil lebih atraktif.
- Tingkat imbal hasil obligasi Indonesia menarik. Obligasi pemerintah Indonesia merupakan negara dengan peringkat kredit 'Investment Grade' yang menawarkan imbal hasil obligasi pemerintah tertinggi, dengan imbal hasil obligasi tenor 10-tahun di kisaran 7%. Predikat 'Investment Grade' dan imbal hasil yang tinggi tentunya berpotensi untuk menarik minat investor asing.
- Tren penurunan suku bunga. Sejauh ini di 2020 BI sudah tiga kali menurunkan suku bunga dari 5% di awal tahun menjadi 4,25% di Juni. Dalam pandangan kami masih ada ruang bagi BI untuk melakukan pemangkasan suku bunga didukung oleh inflasi yang masih rendah dan nilai tukar yang stabil. Kondisi ini kondusif bagi pasar obligasi.
- Skema burden sharing BI dengan pemerintah berpotensi mengurangi tekanan suplai penerbitan SBN di pasar.
(ara/ara)