Kembali ke Argha, dia menilai pada dasarnya IPO bagi perusahaan startup adalah sebuah exit strategy. Maksudnya, investor-investor lama di sebuah perusahaan startup akan melepas modalnya dalam bentuk saham usai IPO dilakukan. Modal itu akan berlipat jumlahnya bila nilai saham perusahaan bertambah saat melakukan IPO.
Kasus exit strategy ini menurut Argha terjadi di Bukalapak, setelah IPO dilakukan, para investor awal Bukalapak mulai mencari untung dari penjualan saham.
Kronologinya begini, sebelum IPO dilakukan Bukalapak, jumlah total modal yang disetor perusahaan senilai US$ 784 juta atau sekitar Rp 10,97 triliun. Dari modal tersebut, sekitar 80%-nya digunakan untuk menyiapkan IPO. Dalam hitungannya Argha mencatat, dana untuk persiapan IPO sebesar US$ 634 juta atau sekitar Rp 8,87 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah modal sisanya adalah modal yang digunakan oleh investor awal untuk membangun Bukalapak senilai US$ 150 juta atau sekitar Rp 2,17 triliun.
Bila dibagi dengan jumlah investor sekitar 7,7 juta lembar saham maka per lembar saham besarnya Rp 281. Artinya, dengan adanya IPO yang sempat menaikkan harga saham Bukalapak hingga ke level Rp 1.000, para investor awal ini memiliki untung besar bila menjual sahamnya.
"Jadi mereka jual, karena pengin exit strategy. Modal dia aja Rp 281, jelas jauh beda dengan yang Rp 850," ungkap Argha.
Sedangkan di kasus GoTo, dengan persentase penawaran jumlah saham lebih kecil daripada Bukalapak, artinya investor lama di GoTo belum melakukan aksi ambil untung seperti yang dilakukan investor Bukalapak. Terlebih lagi, masih ada rencana GoTo untuk melakukan listing di bursa saham luar negeri.
Kronologinya begini, jumlah modal awal di GoTo besarnya mencapai US$ 8,1 miliar. Belum lama ini GoTo terakhir mendapatkan suntikan modal baru senilai US$ 9,4 miliar bila dirupiahkan maka modal GoTo senilai Rp 134 triliun.
Di sisi lain, target IPO GoTo sendiri cuma mencapai Rp 18 triliun maksimal, padahal modalnya mencapai ratusan triliun. Artinya, aksi ambil untung belum akan terjadi sekarang.
Maka dari itu kinerja saham GoTo berpotensi bakal dijaga beberapa waktu ke depan. Ujungnya, ada secercah harapan saham GoTo tidak anjlok sangat dalam macam Bukalapak.
"Ini cuma coba-coba, sample, grand launching, penyerapannya terbesar ada di next IPO. Mereka yang menyuntik Rp 134 triliun ini masih menunggu lagi. Dalam periode itu GoTo butuh dijaga," ujar Argha.
Perihal exit strategy yang terjadi pada saat IPO perusahaan startup, menurut Reza Priyambada memang bisa saja terjadi. Meskipun, menurutnya hal ini sangatlah bertentangan dengan marwah dan tujuan IPO itu sendiri.
Tujuan IPO sendiri menurutnya adalah untuk menyerap dana sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan perusahaan. Namun, bisnis perusahaan startup dilakukan dari suntik menyuntik modal.
Wajar saja menurutnya bila para pemodal yang sudah menyuntikkan uang itu butuh keuntungan dari modal yang sudah disetorkan. Nah balik modalnya itu bisa didapatkan lewat IPO.
"Menurut saya sih istilah exit strategy memang tidak pas kalau mau bicara marwah IPO. Cuma kan ini startup, di sana sarat suntikan modal. Nah agar pemodal dapat keuntungan ya lewat IPO. Maka, kalau ini jadi dibilang exit strategy? Ya bisa saja, meskipun jadi kurang tepat sama tujuan IPO," papar Reza.
Terakhir, Reza sendiri mengingatkan mekanisme pasar sendiri tak selalu bisa diprediksi secara pasti. Dia tak menutup kemungkinan apa yang terjadi di IPO Bukalapak bisa menghampiri GoTo.
"Prospek saham kan ini baru awal IPO jadi ke depan terus terang aja nggak ada yang tahu kalau nasibnya GoTo kayak BUKA atau jauh lebih baik," ujar Reza.
Jadi, apakah kisah IPO Bukalapak tidak akan terulang pada GoTo? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Simak Video "Video: Grab dan Danantara Buka Suara soal Isu Investasi ke GOTO"
[Gambas:Video 20detik]
(hal/das)