Menerawang Nasib Saham GoTo, Kisah Bukalapak Bakal Terulang?

Menerawang Nasib Saham GoTo, Kisah Bukalapak Bakal Terulang?

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Senin, 21 Mar 2022 07:15 WIB
IPO GoTo
Foto: YouTube / Tokopedia
Jakarta -

GoTo bakal segera melantai di Bursa Efek Indonesia. Saat ini, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk sedang memulai rangkaian penawaran umum perdana (initial public offering/IPO).

Perusahaan gabungan dari Gojek dan Tokopedia itu bakal menyusul Bukalapak untuk menjadi startup lokal yang melantai di bursa. Agustus 2021 silam, Bukalapak lebih dulu melakukan IPO.

Nampaknya, fenomena tren startup melantai di bursa mulai menjamur di Indonesia. Selain GoTo dan Tokopedia, startup asal Singapura, Grab, yang juga memiliki operasi besar di Indonesia pun ikut melangkahkan kaki untuk melantai di bursa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun nasib Grab sedikit berbeda, mereka melakukan IPO dan menyerap modal di Wall Street alias bursa efek di Amerika Serikat.

Meski begitu, kisah IPO startup lokal di bursa efek cukup tragis. Berkaca dari Bukalapak sebagai perusahaan startup pertama yang melantai di bursa efek kini sahamnya justru anjlok sangat dalam dari nilainya saat IPO.

ADVERTISEMENT

Di 2021, Bukalapak yang memiliki kode saham BUKA melakukan IPO dengan melepas 25,76 miliar saham atau sebanyak 25%. Harga saham yang ditawarkan dalam IPO yakni sebesar Rp 750 hingga Rp 850 per saham. Dari aksi korporasi tersebut, Bukalapak menargetkan meraup dana Rp 21,9 triliun.

Namun kini, saham Bukalapak bertengger di level Rp 268 per lembar saham. Sudah turun 582 poin dari harga IPO atau mencapai 68,4%.

Lalu bagaimana dengan GoTo, apakah nasibnya akan berujung sama dengan Bukalapak?

Dalam catatan detikcom, menurut prospektus perusahaan, GoTo sendiri berencana untuk menawarkan sebanyak-banyaknya 52 miliar saham seri A. Jumlah ini hanya mewakili sekitar 4,35% modal yang disetor penuh ke perusahaan.

Saham GoTo ditawarkan dengan harga Rp 316 hingga Rp 346 per saham. Adapun target dana yang diraih dari IPO ini sebesar-besarnya adalah sekitar Rp 17,99 triliun.

Bila dibandingkan target IPO GoTo memang lebih kecil dibandingkan dengan BUkalapak. Baik secara jumlah nominalnya, maupun jumlah persentase saham yang dilepas.

Kemudian, bila melihat kinerja perusahaan. Entitas gabungan Gojek dan Tokopedia itu masih mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 11,58 triliun per September 2021.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020, nilai kerugian dengan kode saham GoTo itu meningkat dari awalnya hanya senilai Rp 10,43 triliun.

Dalam prospektus awal itu disebutkan GoTo memiliki total aset Rp 158,17 triliun per akhir September 2021. Sementara pendapatannya mencapai Rp 3,40 triliun, naik dari periode yang sama pada 2020 sebesar Rp 2,34 triliun.

Lalu apakah GoTo akan bernasib sama dengan Bukalapak? Lanjut di halaman berikutnya.

Menurut trader profesional dan founder Owner Creative Trading System Argha Jonatan Karo Karo kisah saham GoTo nampaknya tidak akan seburuk dengan apa yang terjadi di Bukalapak saat melakukan IPO. Masih ada secercah harapan bagi saham GoTo berada di level yang stabil setelah IPO, setidaknya dalam jangka waktu pendek.

Dia menilai saham GoTo akan dijaga nilainya dalam beberapa waktu ke depan setidaknya hingga rencana penawaran internasional alias IPO di lantai bursa berbagai negara bisa dilakukan.

"Saya cukup yakin GoTo akan dijaga, dari sisi bisnisnya, pertumbuhannya, juga harganya, kalau bisa ditingkatkan," ujar Argha dikutip detikcom dari channel YouTube Creative Trading.

GoTo sendiri berencana melakukan pencatatan saham ganda di bursa efek luar negeri atau dual listing setelah melantai di BEI. Sayangnya belum diketahui pasti kapan waktu pelaksanaannya.

Dalam prospektusnya, rencananya GoTo akan mencatatkan saham di New York Stock Exchange (NYSE), National Association of Securities Dealers Automated Quotations (NASDAQ), Hong Kong Stock Exchange (HKSE), Singapore Stock Exchange (SGX) atau London Stock Exchange (LSE).

Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada pun mengamini hal tersebut. GoTo pasti akan menjaga valuasi sahamnya, apalagi bila sudah jelas perusahaan menyatakan mau melakukan dual listing.

Menurutnya, GoTo pasti akan menjaga citra terhadap nilai sahamnya. Bila saham turun dan terus-menerus anjlok, akan menjadi sentimen negatif untuk penawaran internasional.

"Nggak pas lah kalau ada rencana dual listing tapi saham di sini drop, orang sana kan bakal ngeliat, wah itu di dalam negeri aja drop gimana di luar? Jelas perusahaan akan jaga performance-nya untuk dual listing," kata Reza kepada detikcom.

Menurutnya, GoTo juga akan menjalankan skema stabilisasi harga saham paska IPO dengan melakukan intervensi harga saham lewat skema greenshoe atau opsi penjatahan lebih.

Dalam prospektusnya, GoTo menetapkan sampai dengan sebanyak-banyaknya 15% dari jumlah saham yang ditawarkan pada saat IPO atau 7,8 miliar saham, yang akan diambil dari saham tresury untuk langkah stabilisasi harga saham. Saham itu diberikan kepada penjamin emisi PT CGS-CIMB Niaga Indonesia.

"Dia sudah ada greenshoe juga untuk stabilitas harga. Tinggal kita lihat seperti apa efeknya," ungkap Reza.

Lalu kenapa GoTo bisa diprediksi tidak akan bernasib sama dengan Bukalapak? Lanjut di halaman berikutnya.

Kembali ke Argha, dia menilai pada dasarnya IPO bagi perusahaan startup adalah sebuah exit strategy. Maksudnya, investor-investor lama di sebuah perusahaan startup akan melepas modalnya dalam bentuk saham usai IPO dilakukan. Modal itu akan berlipat jumlahnya bila nilai saham perusahaan bertambah saat melakukan IPO.

Kasus exit strategy ini menurut Argha terjadi di Bukalapak, setelah IPO dilakukan, para investor awal Bukalapak mulai mencari untung dari penjualan saham.

Kronologinya begini, sebelum IPO dilakukan Bukalapak, jumlah total modal yang disetor perusahaan senilai US$ 784 juta atau sekitar Rp 10,97 triliun. Dari modal tersebut, sekitar 80%-nya digunakan untuk menyiapkan IPO. Dalam hitungannya Argha mencatat, dana untuk persiapan IPO sebesar US$ 634 juta atau sekitar Rp 8,87 triliun.

Nah modal sisanya adalah modal yang digunakan oleh investor awal untuk membangun Bukalapak senilai US$ 150 juta atau sekitar Rp 2,17 triliun.

Bila dibagi dengan jumlah investor sekitar 7,7 juta lembar saham maka per lembar saham besarnya Rp 281. Artinya, dengan adanya IPO yang sempat menaikkan harga saham Bukalapak hingga ke level Rp 1.000, para investor awal ini memiliki untung besar bila menjual sahamnya.

"Jadi mereka jual, karena pengin exit strategy. Modal dia aja Rp 281, jelas jauh beda dengan yang Rp 850," ungkap Argha.

Sedangkan di kasus GoTo, dengan persentase penawaran jumlah saham lebih kecil daripada Bukalapak, artinya investor lama di GoTo belum melakukan aksi ambil untung seperti yang dilakukan investor Bukalapak. Terlebih lagi, masih ada rencana GoTo untuk melakukan listing di bursa saham luar negeri.

Kronologinya begini, jumlah modal awal di GoTo besarnya mencapai US$ 8,1 miliar. Belum lama ini GoTo terakhir mendapatkan suntikan modal baru senilai US$ 9,4 miliar bila dirupiahkan maka modal GoTo senilai Rp 134 triliun.

Di sisi lain, target IPO GoTo sendiri cuma mencapai Rp 18 triliun maksimal, padahal modalnya mencapai ratusan triliun. Artinya, aksi ambil untung belum akan terjadi sekarang.

Maka dari itu kinerja saham GoTo berpotensi bakal dijaga beberapa waktu ke depan. Ujungnya, ada secercah harapan saham GoTo tidak anjlok sangat dalam macam Bukalapak.

"Ini cuma coba-coba, sample, grand launching, penyerapannya terbesar ada di next IPO. Mereka yang menyuntik Rp 134 triliun ini masih menunggu lagi. Dalam periode itu GoTo butuh dijaga," ujar Argha.

Perihal exit strategy yang terjadi pada saat IPO perusahaan startup, menurut Reza Priyambada memang bisa saja terjadi. Meskipun, menurutnya hal ini sangatlah bertentangan dengan marwah dan tujuan IPO itu sendiri.

Tujuan IPO sendiri menurutnya adalah untuk menyerap dana sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan perusahaan. Namun, bisnis perusahaan startup dilakukan dari suntik menyuntik modal.

Wajar saja menurutnya bila para pemodal yang sudah menyuntikkan uang itu butuh keuntungan dari modal yang sudah disetorkan. Nah balik modalnya itu bisa didapatkan lewat IPO.

"Menurut saya sih istilah exit strategy memang tidak pas kalau mau bicara marwah IPO. Cuma kan ini startup, di sana sarat suntikan modal. Nah agar pemodal dapat keuntungan ya lewat IPO. Maka, kalau ini jadi dibilang exit strategy? Ya bisa saja, meskipun jadi kurang tepat sama tujuan IPO," papar Reza.

Terakhir, Reza sendiri mengingatkan mekanisme pasar sendiri tak selalu bisa diprediksi secara pasti. Dia tak menutup kemungkinan apa yang terjadi di IPO Bukalapak bisa menghampiri GoTo.

"Prospek saham kan ini baru awal IPO jadi ke depan terus terang aja nggak ada yang tahu kalau nasibnya GoTo kayak BUKA atau jauh lebih baik," ujar Reza.

Jadi, apakah kisah IPO Bukalapak tidak akan terulang pada GoTo? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.



Simak Video "Video: Grab dan Danantara Buka Suara soal Isu Investasi ke GOTO"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads