Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda dalam acara Economic Outlook 2015: 'Potensi Investasi Properti di Tahun Pembangunan Infrastruktur' di Hotel JS Luwansa, Rabu (3/12/2014)
"Kawasan Serpong 2007 beli rumah Rp 250 juta pada 2010 capai Rp 1,5 miliar (6 kali). Bandingkan keuntungannya dengan saham modal naiknya lebih dari 500%. Tapi kondisi saat ini Serpong sudah jenuh. Ketika suatu wilayah sudah jenuh maka akan muncul wilayah lain yang naik," kata Ali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Indonesia ketika sudah tren maka harganya tak masuk akal, tapi orang Indonesia tetap saja beli," katanya.
Ia mencontohkan sampai saat ini orang-orang kaya Indonesia paling banyak beli properti di Singapura karena negara ini menjadi tren properti di kawasan Asia Pasifik. Contoh lainnya soal persaingan rumah sakit di Batam (Indonesia) dan Singapura, yang justru bagi konsumen di Indonesia lebih menarik di Singapura.
"Dengan fasilitas yang sama dengan Singapura tapi orang Indonesia akan tetap milih di Singapura kerena gengsi dan lifestyle," katanya.
Menurut Ali, properti punya siklus yang cukup unik, ada beberapa wilayah yang awalnya pesat kini sebaliknya, atau disalip dengan wilayah lainnya yang tumbuh lebih pesat. Misalnya beberapa tahun lalu hingga kini, investasi properti di Jakarta sekitarnya menjadi primadona, namun ke depan akan bergeser ke wilayah timur seperti Surabaya.
"Dulu Jakarta Barat tertinggal tapi sekarang mulai tumbuh. Ketika Pondok Indah naik maka akan merambat naik pada wilayah sekitarnya," kata Ali.
Ia mengibaratkan pasar properti sebagai dua sisi mata uang karena ketika sebuah lokasi jenuh, maka arah perkembangan akan melebar ke wilayah lain. Lokasi yang belum jenuh akan muncul atau tumbuh pesat. Selain itu ada faktor lainnya yang menopang tren properti seperti kondisi makro ekonomi seperti kurs.
"Rupiah tertekan kawasan industri berkembang. Sektor perkantoran dan jasa meningkat," kata Ali.
(hen/hds)