-
Pindah ibu kota sebenarnya bukan rencana yang baru. Sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) memantapkan rencana itu, beberapa presiden sebelumnya juga pernah punya rencana serupa.
Presiden RI Pertama Soekarno juga pernah ingin memindahkan ibu kota ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Sementara Presiden kedua Soeharto ingin memindahkan ibu kota yang posisinya lebih dekat yakni Jonggol, Jawa Barat.
Saran memindahkan ibu kota ke Jonggol pun kembali digaungkan salah satunya oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Pindah ke Jonggol dianggap jauh lebih efisien dibanding pindah ke pulau Kalimantan seperti rencana Jokowi. Lalu apa si kelebihan dan kekurangnya jika ibu kota pindah ke Jonggol?
Founder Urban+, Pengamat Perancang Kota, Sibarani Sofyan mengatakan, memang setiap lokasi pasti memiliki kelebihan untuk dijadikan ibu kota. Untuk Joggol sendiri memiliki kelebihan lokasinya yang dekat dengan ibu kota saat ini, yakni Jakarta.
"Dekat dan bisa dilakukan dengan metoda lebih mudah tanpa isu lintas pulau," ujarnya kepada detikFinance, Minggu, (18/8/2019).
Dengan lokasi yang dekat dengan ibu kota saat ini, maka untuk mencari sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan serta ahli dalam membangun ibu kota baru akan lebih mudah.
Selain itu, infrastruktur pendukung di Jonggol juga terbilang sudah tersedia. Sehingga akan lebih efisien karena tidak harus membangun infrastruktur pendukung terlebih dahulu.
"Ketersediaan infrastruktur pendukung juga lebih mudah dan sdh ada jaringan-jaringan level Jabodetabek," tutupnya.
Tapi jika ibu kota pindah ke Jonggol juga ada minusnya. Pertama, di Jonggol lahannya sudah dikuasai banyak pihak individu. Sehingga pemerintah akan sulit mengontrol harga tanahnya.
Kedua, Jabodetabek terbilang sudah terlalu padat. Lokasinya juga sangat dekan dengan ibu kota saat ini.
Sehingga tujuan dasar untuk memindahkan ibu kota dari segala macam permasalahan yang ada di Jakarta sulit tercapai.
"Memindahkan ibukota di sela-sela Jabodetabek mungkin tidak memberi manfaat pengurangan masalah atau isu-isu kota Jakarta antara lain kemacetan, kekurangan air bersih, energi, dan lainnya," terangnya.
Selain itu, jika pindah ke Jonggol, pola pergerakan staf pemerintahan mungkin tetap berkomuter di tempatnya masing. Sehingga tujuan untuk memberikan multiplier efek ke ibu kota baru termasuk dalam hal perekonomian juga tidak tercapai.
Terakhir, jika ibu kota dipindahkan ke Jonggol target mengurangi Jawa sentris dan pemerataan ke daerah lainnya di Indonesia tidak tercapai.
Sama dengan Jonggol, wilayah Kalimantan juga memiliki kelebihan dan kekurangan untuk jadi ibu kota baru. Kelebihannya Kalimantan ibarat kertas yang masih kosong, sehingga lebih mudah untuk memulai sesuai tujuan yang diinginkan.
"Warisan beban dan masalah perkotaan di Jabodetabek bisa dihindari karena semua mulai dari nol. Perencanaan bisa dibuat lebih ideal dan optimal," terangnya.
Selain itu, pemerintah akan lebih leluasa dalam hal penguasaan lahan. Kontrol pemerintah akan lebih kuat jika lahannya belum terlalu liar dimiliki pihak swasta.
Pindah ke Kalimantan juga akan lebih baik dalam hal melakukan desentralisasi geo politik, yang selama ini bernuansa Jawa Sentris bisa menjadi Indonesia Sentris. Pulau selain Jawa akan berpotensi mendapat prioritas lebih dibanding sebelumnya.
"Efek trickle down economy untuk daerah sekitar Lokasi Ibukota di Kalimantan akan positif apabila dilakukan dengan benar," tambah Siibarani.
Tapi Kalimantan juga memiliki kekurangan seperti permasalahan lintas pulai. Akan terbilang sulit dalam hal logistik untuk pengadaan bahan dan SDM ahli pembangunan.
Selain itu tentunya secara psikologis resistensi untuk pindah ke lokasi sejauh itu akan tinggi di awalnya. Biaya transportasi akan lebih mahal karena harus via kapal udara atau laut.
Pengadaan Sumber Daya Manusia (SDM) pendukung di kota-kota Kalimantan relatif kurang siap dibandingkan Jabodetabek.
"Kondisi lahan yg dipilih seandainya bersinggungan dengan hutan lindung, jika tidak diterapkan prinsip proteksi lingkungan yang baik, berpotensi mengundang kritik besar dari mata internasional," terangnya.
Untuk kondisi lahan, jika berada di lahan gambut juga akan memberikan kendala. Namun kelebihan dan kekurangan itu juga tergantung dari kota di Kalimantan yang akan dipilih nantinya.
Founder Urban+, Pengamat Perancang Kota, Sibarani Sofyan mengatakan, memang setiap lokasi pasti memiliki kelebihan untuk dijadikan ibu kota, baik itu Jonggol maupun Kalimantan. Namun menurutnya dari pada membandingkan keduanya ada yang lebih penting untuk dipersiapkan.
"Bukan masalah plus minus Jonggol vs Kalimantan, in either case pemindahan ibukota membutuhkan pendekatan di luar business as usual," ujarnya.
Sibarani melanjutkan, jika sistem pembiayaan, pengadaan, perencanaan, desain dan eksekusi di lapangan masih menggunakan paradigma pembangunan yang lama akan sulit dilaksanakan. Apalagi kalau dilakukan dalam timeline yang sangat singkat.
Paradigma yang dimaksudnya adalah pendekatan birokrat-sektoral, kewenangan pusat daerah, peraturan pertanahan, serta tata ruang perkotaan dan wilayah.
"Kami asosiasi perancang kota Indonesia (IARKI), bersama dengan ikatan ahli perencana (IAP) dan ikatan arsitek Indonesia (IAI) menghimbau untuk memberikan waktu yang cukup untuk merumuskan kriteria-kriteria perencanaan dan perancangan yang baik untuk ibu kota negara dengan standar yang lebih tinggi dan paradigma lebih baik. Supaya resiko kesalahan dan kegagalan di masa mendatang bisa dihindari," tambahnya.
Lagi pula menurut Sibarani, antara Kalimantan dan Jonggol sebenarnya tidak bisa diambil kesimpulan siapa pemenangnya tanya adanya kalkulasi.
Jonggol, lahan sudah dikuasai banyak pihak individu. Maka akan sulit bagi pemerintah untuk mengusai dan berpotensi tinggi munculnya spekulan.
Sementara Kalimantan isu jarak dan ketersediaan logistik dan material konstruksi seperti alat-alat berat, besi, tanah matang dan lainya akan meningkatkan biaya pembangunan.