"Modusnya hampir sama diawali dengan jual beli properti yang dilakukan oleh penjual dan pembeli yang bertemu untuk melakukan transaksi," kata Ario Seto dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Nah, di sini kelompok mafia tanah memainkan perannya masing-masing, mulai dari berpura-pura menjadi pembeli, hingga kantor notaris yang tentunya abal-abal.
"Diawali dengan peran pembeli abal-abal yang seolah membeli aset properti dengan nilai yang disepakati. Kemudian terjadi transaksi, dan untuk meyakinkan diberikan DP (uang muka)," jelasnya.
Setelah itu, pembeli yang merupakan mafia tanah menunjuk kantor notaris palsu yang sebenarnya adalah jaringan dari mafia tanah tersebut.
Setelah pihak pembeli dan penjual bertemu, pihak pembeli meminta sertifikat dari penjual dengan dalih untuk dicek ke BPN. Di sini lah mafia tanah mulai memalsukan sertifikat tanah milik korban. Setelah sukses mafia tanah bakal mengambil keuntungan secara ekonomi baik dengan mengagunkan sertifikat abal-abal tersebut maupun menguasai aset yang sebelumnya dimiliki korban.