2. Buruh Dihantui Pemutusan Kontrak
Secara psikologis, menurutnya aturan tersebut bisa membuat buruh merasa tidak nyaman bekerja di perusahaan. Akibatnya produktivitas akan turun sehingga yang rugi perusahaannya juga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu produktivitas pasti menurun. Sebenarnya rugi perusahaan itu. PP Nomor 35 ini merugikan pengusaha juga sebenarnya kalau dipikirkan secara baik-baik, sebagai perusahaan yang modern ya. Kalau perusahaan abal-abal tentu senang ya karena (bisa) kontrak pecat-kontrak pecat," jelas Iqbal.
3. Terancam Tak Dapat Jaminan Ketenagakerjaan
Said Iqbal berpendapat bahwa artinya buruh bisa dikontrak hanya beberapa minggu atau bulan saja. Konsekwensinya, mereka bisa kehilangan hak mendapatkan jaminan ketenagakerjaan, termasuk jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).
"Nah, dengan dikontrak pendek, tidak mungkin lah perusahaan memberikan semacam JKP yang dijanjikan dalam Undang-undang Cipta Kerja atau PP Nomor 37. Mana mau perusahaan mengontrak berulang-ulang menyiapkan JKP," kata dia.
Sebab, salah satu syarat mendapatkan JKP minimal buruh yang bekerja pada usaha besar dan usaha menengah harus diikutsertakan pada program JKN, JKK, JHT, JP, dan JKM, atau pekerja/buruh yang bekerja pada usaha mikro dan usaha kecil, diikutsertakan sekurang kurangnya pada program JKN, JKK, JHT, dan JKM.
Selain itu, manfaat JKP dapat diajukan setelah peserta memiliki masa iur paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut pada BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi pemutusan hubungan kerja atau pengakhiran hubungan kerja.
Baca juga: Buruh Kecam Aturan Kerja Kontrak 5 Tahun |
(toy/eds)