Jakarta -
Ratusan pembeli apartemen di China protes dan berhenti membayar cicilan karena pembangunan belum rampung. Pasangan muda yang pindah ke Zhengzhou, China mengatakan pengembang menarik diri dari proyek dan membuat pembangunan terhenti usai menerima uang muka pada tahun lalu.
"Saya telah membayangkan berkali-kali kegembiraan tinggal di rumah baru, tetapi sekarang semuanya terasa konyol," kata wanita yang tidak ingin disebutkan namanya itu dikutip dari BBC, Rabu (10/9/2022).
Kekecewaan yang sama juga dirasakan seorang wanita berusia akhir 20-an yang juga membeli rumah di Zhengzhou. Dia mengatakan, dirinya juga siap untuk berhenti membayar cicilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah proyek dilanjutkan sepenuhnya, saya akan terus membayar," ujarnya.
Berbeda dengan krisis Subprime Mortgage AS pada 2007, ketika uang dipinjamkan kepada peminjam berisiko tinggi yang kemudian gagal bayar, banyak di antara pembeli apartemen yang dapat membayar tetapi memilih untuk berhenti.
Sementara itu, mereka merupakan pembeli dari 320 proyek di seluruh negeri, di mana mereka sebelumnya juga telah merilis keputusan mereka itu. Tetapi, tidak jelas berapa banyak yang benar-benar berhenti membayar.
Menurut perkiraan lembaga pemeringkat S&P Global, pinjaman yang diboikot bisa berjumlah US$ 145 miliar. Sementara, analis lain mengatakan angka itu bisa lebih tinggi.
Yang lebih mengkhawatirkan, hal itu menandakan kurangnya kepercayaan pada salah satu pilar utama ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
"Boikot hipotek, didorong oleh sentimen yang memburuk terhadap properti adalah ancaman yang sangat serius terhadap posisi keuangan sektor ini," kata Oxford Economics.
Perlu diketahui, sektor properti China merupakan sepertiga dari hasil ekonominya. Hal ini termasuk rumah, sewa, dan layanan perantara.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Lihat juga Video: Resor di China Lockdown, 80 Ribu Turis Terjebak
[Gambas:Video 20detik]
Akan tetapi, ekonomi China telah melambat pada kuartal terakhir dan hanya tumbuh 0,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan beberapa ekonom tidak mengharapkan pertumbuhan apapun tahun ini.
Hal ini terjadi sebagian besar karena strategi nol COVID-19 China, lockdown berulang, dan pembatasan berkelanjutan telah mempengaruhi pendapatan, juga akhirnya pada tabungan dan investasi.
Para ahli percaya penularan COVID-19 menjadi fokus utama saat ini, dan bank tidak akan memberi pinjaman jika mereka yakin sektor tersebut sedang lesu. "Itu semua akan tergantung pada kebijakan," kata Kepala Penelitian Ekonomi China Raya di Standard Chartered, Ding Shuang.
"Tidak seperti di bagian lain dunia di mana gelembung properti pecah karena pasar, ini disebabkan oleh pemerintah," tambahnya
Sementara itu, 30 perusahaan real estat telah melewatkan pembayaran utang luar negeri. Evergrande, yang tahun lalu gagal membayar utang US$ 300 miliar adalah yang paling terkenal. Lebih lanjut, S&P telah memperingatkan bahwa jika penjualan tidak meningkat, lebih banyak perusahaan yang akan mengalami hal serupa.
Di sisi lain, permintaan rumah juga tidak meningkat karena China mengalami perubahan demografis dengan urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang melambat. Sementara, real estat menyumbang 70% dari kekayaan pribadi di China dan pembeli rumah sering membayar di muka untuk proyek yang belum selesai.
Ekonom senior China di Capital Economics, Evans-Pritchard menjelaskan, inilah yang disebut dengan pra-penjualan, membuat 70-80% dari penjualan rumah baru di China. Pengembang membutuhkan uang itu karena mereka menggunakannya untuk mendanai beberapa proyek sekaligus.
Sementara itu, saat ini para anak muda dan kelas menengah di China tidak lagi berinvestasi di properti. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi ekonomi yang lemah, kehilangan pekerjaan dan pemotongan gaji. Kini, mereka juga turut ketakutan dengan pengembang properti yang mungkin tidak menyelesaikan proyeknya.
"Itu bagian dari masalah pengembang mengandalkan uang baru yang masuk, dan penjualan baru itu tidak terjadi lagi," kata Evans-Pritchard.