Susah Cari Rumah Rp 400 Juta di Jakarta, Saatnya Milenial Pilih Apartemen?

Susah Cari Rumah Rp 400 Juta di Jakarta, Saatnya Milenial Pilih Apartemen?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Kamis, 19 Jan 2023 17:30 WIB
Sebuah real estate di China yang dikmbangkan oleh Kiadengbao di kawasan Guilin, Guangxi Zhuang, mangkrak. Namun, sebagian pembeli nekad tetap tinggal.
Foto: Reuters
Jakarta -

Perusahaan induk properti, 99 Group, mencatatkan pencarian properti di platformnya masih didominasi oleh rumah tapak, mencapai angka 80%. Padahal semakin ke sini, harga tanah semakin meningkat, seiring dengan semakin terbatasnya ketersediaan tanah.

Chief Executive Officer (CEO) of 99 Group Indonesia, Wasudewan mengatakan, harga rumah tapak, khususnya di pusat-pusat kota semakin meningkat. Hal ini terlihat pula dari minat pencarian masyarakat terhadap rumah tapak mencapai 80%. Para pencari properti tersebut didominasi oleh golongan Milenial hingga ke Gen Z.

Untuk di kawasan Jabodetabek, Wasudewan melihat, pertumbuhan harga properti di 2022 didominasi di Kota Depok dan Bogor. Harga properti di Bogor naik 6,6% sedangkan Depok naik 4,7%. Selanjutnya untuk di luar Jabodetabek, peningkatan tertinggi terjadi di Kota Semarang sebanyak 4,8%. Lalu untuk di luar Pulau Jawa, tertingginya di Kota Medan, mencapai 3,2%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penyebab Depok dan Bogor alami peningkatan harga tertinggi karena banyak tersedia rumah murah, serta project-nya cukup banyak di sana. Jadi, pilihannya semakin banyak. Supply pasti akan mempengaruhi demand," katanya kepada wartawan, di Pullman Hotel Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (19/01/2023).

Wasudewan mengatakan, untuk mencari hunian tapak di bawah Rp 400 juta, masyarakat harus menyisir daerah di luar kawasan ibu kota. Misalnya ke daerah Cileungsi, Depok, hingga Bogor, baik dengan ukuran rumah yang cukup kecil maupun termasuk ke golongan rumah subsidi.

ADVERTISEMENT

Kekurangannya, sudah barang tentu memakan waktu yang cukup lama untuk mobilitas ke kawasan ibu kota. Namun apabila masih ingin tinggal di ibu kota dengan budget segitu, Wasudewan mengatakan, masyarakat bisa memilih opsi apartemen.

"Segmen harga Rp 400 juta apakah masih ada di Jakarta? Ada. Tapi bentuknya apartemen. Kecil, studio mungkin 20 meter plus," kata Wasudewan.

"Jadi balik lagi konsumen lebih memilih Rp 400 juta bisa tinggal di Jakarta, bisa. Atau Rp 400 juta tapi mau punya landed 50 m2 berarti harus pergi ke luar Jakarta. Mungkin 1 jam dari Jakarta," tambahnya.

Di sisi lain, tingginya minat masyarakat dalam mencari rumah tapak dibandingkan dengan hunian vertikal cukup disoroti para pengembang properti. Apalagi mengingat lahan semakin terbatas, ditambah lagi penduduk RI semakin meningkat. Menurutnya, ke depan gaya hidup tinggal di apartemen perlu terus di dorong.

"Di negara-negara padat penduduk itu kan properti yang menarik adalah apartemen. Di mana dalam satu kawasan tertentu bisa ada banyak dan lahannya bisa digunakan untuk hal lain. Jadi bagaimana gaya hidup tinggal di apartemen bisa diedukasi apa saja benefitnya," katanya.

Lihat juga video 'Berapa Harga Baru Rumah Bersubsidi Bebas PPN?':

[Gambas:Video 20detik]



Bersambung ke halaman selanjutnya.

Menurutnya, salah satu alasan masyarakat RI lebih menyukai tinggal di rumah tapak ialah akibat budaya dari orang tua yang kerap menggambarkan sebuah rumah sebagai bangunan yang memiliki halaman luas. Di sisi lain, negara maju justru lebih menggemari hidup di apartemen.

"Selain harga tanah cukup tinggi, affordability konsumen beli landid semakin rendah, tapi juga ada benefit tinggal di apartemen. Lebih simpel, kebersihan lebih gampang, maintanance ada yang mengerjakan. Gaya hidup itu yang cocok dengam generasi muda," ujarnya.

Ia tidak dapat memprediksikan kapan tren ini akan bergeser. Menurutnya, kecepatan kenaikan harga tanah juga akan menentukan seberapa cepat pergeseran masyarakat untuk mulai membeli apartemen.

Di sisi lain, Direktur Rumah Umum dan Komersial Kementerian PUPR, Fitrah Nur menyampaikan, sejak 2020 hingga 2022 kemarin angka backlog alias kesenjangan antara jumlah rumah dan jumlah kebutuhan rumah, masih belum menunjukkan perubahan berarti. Besarannya masih di kisaran 12,7 juta di 2022 lalu.

Padahal, pemerintah telah menjalankan berbagai program hingga mengguyurkan dana yang cukup besar demi menurunkan angka tersebut. Apalagi, Fitrah menyebut, setiap tahunnya terjadi penambahan keluarga hingga 700 ribu. Karena itulah pihaknya tengah berfokus demi mencapai target nol backlog. Kondisi ini menjadi PR besar bagi pemerintah.

"Kita ingin mentargetkan nol backlog rumah. Dan ini tak bisa dilakukan kementerian PUPR sendiri itu harus dilakukan oleh semua stakeholder perumahan," ujar Fitrah, dalam acara yang sama.

Halaman 2 dari 2
(dna/dna)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads