Padahal, ke depan risiko di pasar keuangan cukup mengkhawatirkan. Kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) yang kemungkinan terjadi tahun depan akan berdampak serius terhadap pasar modal negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Investor asing akan cenderung mengalihkan investasi ke Negeri Paman Sam dan melepas aset-aset di negara berkembang. Akibatnya, nilai tukar rupiah atau Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rentan bergejolak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan UU JPSK, menurut Destri, dapat memberikan landasan hukum yang kuat. Khususnya bagi Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam mengambil kebijakan untuk menangani gejolak di pasar keuangan.
"Instansi itu berada dalam pemahaman yang sama soal definisi sitemik. Itu ada dalam RUU JPSK," katanya.
Jika ada UU JPSK, lanjut Destry, maka setiap pengambilan keputusan terkait penanganan krisis punya dasar hukum yang kuat. Pengambil kebijakan tidak perlu ragu untuk mengambil kebijakan.
"Siapa instansinya jelas fungsinya seperti apa. Siapa yang berhak mengatakan ini sistemik, dan kemudian masuk ke market, apakah intervensi ataupun bailout," papar Destry.
Saat ini, tambah Destry, tidak adanya dasar hukum yang kuat menyebabkan setiap instansi seperti lempar tanggung jawab. Tantangan juga semakin kuat karena ada perubahan konstelasi politik dengan kehadiran pemerintahan baru.
"Sekarang kan masih lempar-lemparan. Dari BI bilang Kemenkeu, kemudian dilempar ke LPS. Jadi nggak sama," tukasnya.
(mkl/hds)