Salah satu penyebabnya adalah tingginya bunga kredit di dalam negeri. Dampaknya, para pengusaha jadi kesulitan memproduksi listrik dari energi terbarukan dan menjualnya ke PLN dengan patokan harga sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 (Permen ESDM 12/2017).
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan, bunga kredit dari bank-bank lokal untuk proyek energi terbarukan mencapai 11%. Ini menurunkan tingkat pengembalian modal (Internal Rate Return/IRR) untuk investasi di bisnis energi terbarukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi sayangnya, perusahaan-perusahaan pengembang energi terbarukan di Indonesia kesulitan memenuhi persyaratan dari lender asing.
"Bunga pinjaman kita tinggi, bank lokal 10-11%. Makanya lender kemarin saya kumpulkan, ada World Bank, ADB (Asian Development Bank), dan lain-lain. Mereka bilang di meeting bahwa mereka punya banyak uang dengan bunga rendah, cuma 2% bunga pinjamannya. Tapi belum ada pengembang kita yang qualified. Entah kenapa apa syaratnya sehingga berat sekali," kata Arcandra saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (12/5/2017).
Untuk menjembatani masalah ini, Arcandra akan mempertemukan para lender asing dengan pengusaha-pengusaha energi terbarukan. Pihaknya ingin mencari solusi agar pengusaha bisa mendapat pinjaman dengan bunga ringan dari bank-bank asing.
"Saya belum tahu, saya juga bertanya apa syaratnya (yang menyulitkan). Nanti saya coba pertemukan lender dengan para pengembang energi terbarukan," cetusnya.
Apabila kredit berbunga rendah tak bisa diperoleh, para pengusaha energi terbarukan tentu sulit mengikuti Permen ESDM 12/2017. Jika aturan terbukti tak bisa dijalankan, pemerintah bisa merevisinya.
"Kalau enggak workable, nanti saya akan discuss dengan Pak Menteri," tutup Arcandra. (mca/ang)