Hal ini dikemukakan oleh Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati di kantornya, Jakarta, Senin (10/7/2017).
"Kajian ini tentu betul-betul komperhensif. Tidak ada satu kajian yang bisa dilakukan sesingkat itu. Mengapa? kalau kita merefer pengalaman beberapa negara melakukan studi kajian mengenai pemindahan ibukota, itu rata-rata sampai selesai itu hampir 10 tahun, kajian sama prosesnya. Dan itu juga termasuk blueprint-nya. Jadi blueprint mengenai Bagaimana perencanaan kota tuh minimal harus lebih dari 30 tahun, apalagi untuk ibukota," kata Enny.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Enny juga mengatakan kalau pemerintah perlu melihat berbagai aspek terhadap rencana tersebut. Mulai, dari persoalan ibu kota yang ada saat ini, hingga calon ibu kota baru nantinya. Pemerintah dinilai perlu menyiapkan sejumlah alternatif terhadap rencana tersebut.
"Tetapi yang harus diingat adalah inikan alternatif yang namanya alternatif itu terbuka. Terbukanya adalah termasuk aternatif tetap ibu kota itu di Jakarta itu juga alternatif. Terbuka itu, jadi pilihan-pilihan yang the best choice, itu pilihan-pilihan yang paling memberikan bonafit yang maksimal dan resiko yang minimal, jadi artinya harus juga dibuka, bagaimana kalau misalnya ibu kota tetap di Jakarta, di samping juga alternatif-alternatif, kota-kota, apa namanya dimungkinkan kota-kota alternatifnya kota manapun," jelas Enny.
Enny mengatakan saat ini pemerintah berencana untuk memisahkan pusat bisnis dengan pusat pemerintahan, salah satu tujuannya untuk mengurangi kepadatan ibu kota saat ini dan melakukan pemerataan ekonomi. Sebetulnya, kata Enny, pemerintah bisa mencontoh negara-negara lain yang dapat menyelesaikan masalah serupa tanpa melakukan pemindahan ibu kota.
"Karena ada banyak best practice, misalnya ada beberapa negara yang seperti Jakarta, Tokyo itu seperti Jakarta, Perancis seperti Jakarta, Jerman seperti Jakarta, dan kota-kota lain juga banyak seperti Jakarta. Artinya ibu kota sekaligus pusat bisnis pusat pemerintahan dan juga pusat administrasi dan politik. Artinya tidak bisa kita menyelesaikan persoalan ibu kota ini melihat kondisi saat ini," katanya.
"Kalau misalnya Jakarta saat ini banjir, berarti Jakarta nggak layak harus ada kota yang tidak banjir. Padahal nanti persoalan ibu kota itu tidak hanya banjir itu kan ada kebutuhan ini kan pusat antar negara di dunia, bagaimana nanti hubungan konektivitas antar satu negara dengan negara lain, ini juga harus dipenuhi oleh ibu kota, termasuk misalnya persoalan-persoalan infrastruktur dan sebagainya. Artinya ini yang harus ada satu kajian yang komperhensif," tutupnya.
(mkj/mkj)