"Kalau harga sekarang sampai Rp 4.000/kg, jelas kita senang sekali, gembira, senang bukan main. Tapi ini saya kira tidak akan berlangsung lama, mungkin dalam sebulan bisa sudah kering lagi, jadi panen garam sudah banyak," kata Sarli kepada detikFinance, Kamis (3/8/2017).
Namun demikian, meski harganya naik berlipat, garam yang diproduksi juga menurun drastis. Hal ini lantaran garam harus dipanen cepat mengingat intensitas hujan yang tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harga tinggi tapi produksinya juga kecil, satu hari panen paling banyak 2 kuintal dalam satu hektar. Kalau tidak ada hujan, normalnya panen sehari itu bisa 2 ton. Itu juga panennya telat, biasanya kita setelah sebulan baru bisa panen, ini agak telat seminggu atau lebih karena hujan terus," jelas Sarli.
Petambak garam asal Losarang, Indramayu ini menuturkan, kesulitan lainnya yakni petani harus berkejaran waktu dengan turunnya hujan saat memanen garam. Semakin lama garam dipanen dengan didiamkan dalam beberapa hari, semakin baik kualitasnya. Namun lantaran terus menerus hujan, petani memilih memanen dini.
"Garam itu baru dipanen setelah sebulan, nah baru bisa dipanen setiap hari. Masalahnya ini musim lagi hujan terus, jadi kejar-kejaran sama hujan, sebelum hujan harus sudah diambil garamnya. Ini saja sudah mendung lagi hari ini," ujarnya.
Sementara itu, pemerintah bakal mengimpor 75.000 ton garam dari Australia. Impor dilakukan BUMN produsen garam, PT Garam.
Menurut Sarli, jika garam impor masuk saat musim kemarau maka harga di dalam negeri akan jatuh karena pasokan berlimpah.
"Namanya bertani garam ini kan enggak pasti, hari ini kita senang karena harganya bagus, tapi bulan depan enggak tahu. Kemungkinan sudah cuaca kering, jadi produksi banyak, kalau impor khawatirnya harga jatuh di bawah Rp 600/kg," tutur Sarli.