Apalagi, lesu atau tidaknya daya beli masyarakat dianggap tergambar dari angka konsumsi rumah tangga di kuartal II-2017 yang sebesar 4,95%, angka ini hanya tumbuh tipis jika dibandingkan kuartal I tahun ini yang sebesar 4,94%.
Menurut Ekonom dan Bisnis dari Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono mengatakan, tumbuh tipisnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga sudah ditangkap sejak satu hingga dua tahun belakangan ini bahwa ada gelagat kurang baik di perekonomian global yang berujung pada perekonomian nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang ini tidak ada yang tahu harga komoditas mau berapa ke depannya, maka banyak orang yang mengerem konsumsinya," kata Tony saat dihubungi detikFinance, Rabu (9/8/2017).
Dengan menahan konsumsi, kata Tony, menandakan bahwa masyarakat menahan belanja dan lebih memilih untuk menempatkan dananya pada instrumen perbankan, seperti deposito.
Namun, masalah selanjutnya terjadi di saat perbankan memiliki banyak likuiditas karena adanya tambahan dana pihak ketiga (DPK) yang tidak bisa disalurkan.
"Karena demand kredit rendah, confident juga rendah, ini seperti lingkaran setan, kredit bank tumbuh di bawah 8%, jauh dari target setidaknya 12%," jelas dia.
Persoalan daya beli masyarakat ini harus segera dipecahkan dengan memanfaatkan cadangan devisa (cadev) yang dalam kondisi bagus, yakni mencapai rekor tertinggi sekitar US$ 127,67 miliar sebagai momentum menurunkan suku bunga bank.
Sebab, lanjut Tony, kekhawatiran penurunan suku bunga yang menyebabkan nilai tukar rupiah akan melemah bisa diredam oleh suku cadangan devisa.
Guna menjawab persoalan daya beli masyarakat, pemerintah juga bisa menerapkan disiplin fiskal dalam belanja pemerintah. Tony mengungkapkan, APBN 2017 mengalokasikan belanja infrastruktur sebesar Rp 397 triliun, dan ini harus direalisasikan secara disiplin agar bisa menjadi stimulus perekonomian dari sisi fiskal.
"Kalau policy mix tersebut dijalankan, bisa atasi daya beli, dan masih ada harapan mencapai pertumbuhan ekonomi 5,1% hingga 5,2%," tutup dia. (ang/ang)