Ruwetnya Masalah Kemiskinan dan Ketimpangan di RI

Ruwetnya Masalah Kemiskinan dan Ketimpangan di RI

Citra Fitri Mardiana - detikFinance
Rabu, 09 Agu 2017 13:24 WIB
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta - Ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia menjadi fenomena isu yang kompleks dan ruwet. Tiap rezim pemerintah dihadapkan pada PR menurunkan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan di negara berpenduduk 240 juta orang ini.

Isu ketimpangan ekonomi sudah ramai dibicarakan di Indonesia sejak 1970-an. Ramai muncul kajian dan pemikiran mencari ramuan agar pertumbuhan ekonomi juga bisa menciptakan pemerataan, yang akhirnya mengurangi ketimpangan.

Menko Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan ekonomi Indonesia masih tumbuh positif, meski banyak pro dan kontra muncul soal dampaknya ke masyarakat. Kalangan pengusaha merasa kondisi daya beli masyarakat lesu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terakhir di semester I-2017, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5,01% yang dinilai Darmin positif.

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berjalan. Ironinya satu saja. Di Indonesia pertumbuhan ekonomi kita tidak selalu diapresiasi. Selalu dianggap kurang. Tapi di lingkungan internasional, pertumbuhan ekonomi kita selalu diapresiasi dengan baik," kata Darmin pada acara Indonesia Development Forum (IDF), di Gama Tower, Jakarta, Rabu (9/8/2017).



Namun pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia tidak sejalan dengan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Terakhir di Maret 2017, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami kenaikan 6.900 orang dari September 2016 ke Maret 2017.

"Kata orang tingkat kemiskinan itu lebih mudah dihandle daripada ketimpangan, ternyata yang kita alami akhir-akhir ini, malah tingkat kemiskinan sudah lambat sekali turunnya, walaupun secara absolut dia mulai tidak turun. walaupun secara tingkat kemiskinan masih turun," ujar mantan Dirjen Pajak ini.



Pria yang juga pernah menjabat sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) ini menjabarkan, alasan mengapa penurunan kemiskinan di Indonesia melambat, demikian juga dengan tingkat ketimpangan yang belum bisa banyak teratasi dan harus diwaspadai.

Pertama adalah soal harga pangan di dalam negeri yang dalam beberapa tahun terakhir naik cukup tinggi. Namun pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), klaim Darmin, kenaikan harga pangan bisa diperlambat. Meski begitu, perlambatan kenaikan harga pangan tidak serta merta bisa menurunkan tingkat kemiskinan dan mengurangi kesenjangan.

Karena perlambatan kenaikan harga pangan diikuti dengan penurunan nilai tukar petani. Darmin mengatakan, nilai tukar petani di Juli turun 0,83% dibandingkan akhir 2016. Penurunan nilai tukar petani menyebabkan penghasilan petani turun dan daya belinya melemah.

"Artinya perbaikan harga pangan kelihatannya tidak menguntungkan bagi penghasil pangan itu sendiri. Karena mereka tidak menyetok, tidak menyimpan produknya. begitu panen jual. Itu barangkali satu faktor yang kita di pemerintahan kita ini suatu isu yang tidak konfergensi. Kita perlu cari solusi mengenai hal itu," papar Darmin.

Lalu kedua soal program bantuan sosial (bansos) yang belum efektif menurunkan kemiskinan dan tingkat ketimpangan. Darmin mengatakan, pemerintah sedang mencoba memperbaiki penyaluran beras sejahtera (rastra) dan program keluarga harapan (PKH), dengan cara mempertajam sasarannya dan mengubah penyalurannya menjadi non tunai, untuk mencegah kebocoran.

Namun karena masalah kemiskinan dan ketimpangan Indonesia kompleks alias ruwet, maka butuh kerja keras dari pemerintah. Dimensi ketimpangan tidak hanya si miskin dan si kaya saja, namun juga ketimpangan antar daerah yang juga harus cepat diatasi.

Darmin memaparkan, langkah pemerintah Jokowi menggenjot proyek infrastruktur juga jadi salah satu cara menekan ketimpangan antara daerah, lewat konektivitas.

"Infrastruktur, kemudian akses terhadap lahan. Kemudian kualitas human capital. Ini adalah ternyata persoalan yang begitu rumit menyiapkannya," jelas Darmin. (wdl/hns)

Hide Ads