BUMN Karya 'Berdarah-darah' Bangun Infrastruktur, Ini Penyebabnya

BUMN Karya 'Berdarah-darah' Bangun Infrastruktur, Ini Penyebabnya

Danang Sugianto - detikFinance
Jumat, 08 Des 2017 13:49 WIB
Ilustrasi Pembangunan Infrastruktur (Foto: Ari Saputra)
Jakarta - Para emiten BUMN konstruksi hingga kuartal III-2017 kompak mencatatkan kenaikan laba bersih. Namun peningkatan laba bersih itu tidak dibarengi dengan cash flow yang sehat.

Menurut sekretaris Kementerian BUMN periode 2005-2010, Said Didu, fenomena itu terjadi lantaran gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan BUMN dalam rangka penugasan, namun tak dibarengi dengan kesiapan keuangan yang memadai.

Menurut catatan pemerintah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya cukup menanggung sekitar 7% dari total kebutuhan biaya pembangunan infrastruktur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Sementara, sisanya harus ditanggung BUMN yang mendapat penugasan. Akhirnya, beban keuangan pada BUMN yang bersangkutan menjadi tinggi. BUMN harus mencari sumber-sumber pendanaan baru lewt berbagai skema, dari mulai pinjaman perbankan, pasar modal hingga obligasi.

"Pelaksanana proyek BUMN juga kan harus berbasis keekonomian, tidak bisa ditugaskan. Sekarang persoalannya itu kan pasti jangka panjang akan terjadi," kata dia saat dihubungi detikFinance, Jumat (8/12/2017).

Hal itu, kata Said Didu, bakal meningkatkan rasio utang terhadap ekuitas alias debt to equity ratio (DER) pada perusahaan BUMN. Makin tinggi DER maka makin tinggi beban utang yang harus ditanggung perusahaan, dan bisa menurunkan kemampuan perusahaan untuk melunasi utangnya.

Di sisi lain, aset-aset yang dibangun belum bisa diandalkan untuk memberikan pemasukan pada keuangan perusahaan namun sudah ada penugasan lain yang menanti untuk dikerjakan dan butuh pendaan lebih besar lagi sehingga membuat BUMN-BUMN Karya atau BUMN Konstruksi mulai 'berdarah-darah' melakukan pembangunan infrastruktur.

"DER pasti akan naik, karena dia (BUMN) kan pasti tambah utang. Naik semua, itu jangka panjang kelihatannya," tambah dia.

Untuk itu, menurut Said Didu, pemerintah harus mulai mewaspadai kondisi ini karena dalam jangka panjang, dampaknya akan mulai terlihat.

"Kalau saya melihat ini akan kelihatan nanti 3-4 tahun kemudian. Ini sekarang masih laba karena cash-nya masih ada. Yang terasa kalau cash-nya terganggu," tandas dia. (dna/hns)

Hide Ads