Penggunaan mata uang virtual seperti bitcoin pun diimbau agar tak diterima di badan pemerintahan. "Menimpa otoritas negara dalam melestarikan pertukaran mata uang," ungkap Shawki Allam, dikutip dari RT, Kamis (4/1/2018).
Grand Mufti menganggap pertukaran perdagangan cryptocurrency (mata uang virtual) seperti berjudi dengan alasan "karena dampak langsungnya dalam kehancuran finansial untuk individu," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ulama tersebut juga mengungkap dampak lain yang disebabkan oleh bitcoin. "Memberikan kemudahan dalam pencucian uang dan penyelundupan," imbuhnya.
Pernyataan Allam berkaitan dengan nilai bitcoin yang terus mengalami naik turun. Per 3 Januari 2018, harga per keping bitcoin mencapai US$ 15.000 atau sekitar Rp 202 juta.
Grand Mufti merupakan sosok ulama yang dianggap memiliki derajat kelimuan dan syariat yang tinggi. Sosok ini memiliki daya analisis yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dalam mengeluarkan fatwa.
Meskipun demikian ini bukanlah pertama kalinya seorang ulama yang mengkritisi keberadaan bitcoin. Pada Desember lalu ulama populer di Saudi Arabia, Asim Al-Hakeem, juga melarang karena dianggap ambigu.
Sementara pada November, Direktorat Keagamaan Turki yang juga disebut Diyannet, mendeklarasikan pelarangan membeli dan menjual mata uang virtual karena minimnya regulasi dan erat berhubungan dengan tindakan kriminal. (zlf/zlf)