Senior Director PT Ciputra Residence Agussurja Widjaja mengatakan pada dasarnya swasta tertarik menggarap proyek apapun selama menghasilkan keuntungan. Sementara pemerintah agar hunian TOD terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.
Untuk mewujudkan itu, tentu swasta butuh dukungan dari pemerintah berupa insentif fiskal, seperti misalnya pengenaan pajak yang lebih rendah. Meskipun menurut Agus lebih baik penetapan harga hunian TOD diserahkan lewat mekanisme pasar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dilihat dari harganya kan ini untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Tapi kan selama ini untuk FLPP harga Rp 130 juta PPn-nya 0%, tapi begitu Rp 150 juta itu PPn 10%. Untuk itu kami usulkan dikasih insentif, misalnya tidak harus 10% tapi 5%. Kalau di atas kertas untung, pasti akan dikerjakan tanpa disuruh," tuturnya di Hotel Raffles, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Lalu usulan kedua, ada baiknya pemerintah membagi porsi pembangunan TOD. Untuk infrastrukturnya berupa pembangunan transportasi massalnya agar pemerintah yang menggarapnya. Sebab jika semua diserahkan ke swasta maka tidak akan efisien dan sulit menekan harga jual.
"Pemerintah kan uangnya terbatas dari pada disuntik PMN ke BUMN apakah tidak sebaiknya untuk bangun infrastruktur. Biarkan rumahnya swasta. Karena proyek-proyek LRT, MRT, kereta api, jalan tol itu sudah pasti swasta enggak bisa atau harus join dengan pemerintah," tambahnya.
Sementara itu pihak Ciputra belum menentukan titik mana yang menarik bagi perusahaan untuk mengembangkan TOD. Ciputra masih fokus mengembangkan kota baru di Maja, Lebak, Banten dengan membangun 10 ribu unit rumah tapak.
Sekadar informasi, sampai 2029 pemerintah berencana membangun hunian dengan pendekatan TOD di 47 titik baik di jalur kereta, MRT, LRT hingga terminal bus. Jika itu tercapai pemerintah yakin 60% masyarakat di Jabodetabek akan menggunakan transportasi massal. (hns/hns)