Lantas, adakah pengaruhnya terhadap peningkatan risiko utang Indonesia?
Direktur Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, hal tersebut bisa saja berbahaya jika melihat dari porsi kepemilikan surat utang yang diterbitkan pemerintah selama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya kalau yang megang itu orang asing, risikonya ya hampir sama dengan utang luar negeri. Bedanya nanti beban bunga dan cicilan kalau dolarnya naik, itu kan menjadi besar. Tapi kalau yang pegang asing, porsinya kan seperti yang kemarin aksi profit taking, bareng-bareng keluar, cabut, sehingga itu yang memperlemah dolar," kata Enny kepada detikFinance saat dihubungi, Kamis (15/3/2018).
Utang luar negeri Indonesia sendiri diklaim aman lantaran didominasi utang jangka panjang. Porsi utang luar negeri jangka panjang mencapai 85,7%, sedangkan yang berjangka pendek hanya 14,3% (data per akhir 2017).
Namun demikian, pertumbuhan utang jangka pendek tercatat cukup tinggi yaitu 19,8% secara tahunan dan 10,8% secara bulanan. Pertumbuhan tersebut di atas utang jangka panjang yang naik 7,5% secara tahunan dan 3,9% secara bulanan.
Porsi 40% kepemilikan asing terhadap surat utang yang diterbitkan Indonesia juga semakin mencemaskan jika fundamental ekonomi dalam negeri tidak stabil. Untuk itu, melemahnya rupiah bisa membuka ruang lebih besar bagi asing untuk melakukan aksi ambil untung.
"Artinya ruang untuk spekulasi itu terbuka karena ekonomi kita masih sangat tergantung terhadap dolar tadi. Itu namanya risiko fiskal. Kalau utangnya naik, berarti kebutuhannya tinggi. Itu yang menyebabkan ruang untuk spekulasi terbuka," pungkasnya.
(eds/ang)