Direktur Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan fakta tersebut membuktikan bahwa utang yang telah ditarik pemerintah selama ini tak cukup membantu produktivitas perekonomian dalam negeri.
Dia bilang, jika utang menghasilkan sesuatu yang produktif, maka seharusnya neraca perdagangan tak mengalami defisit karena ekspor Indonesia justru tak menunjukkan hasil yang menggembirakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Enny, pertumbuhan investasi yang meningkat harusnya berdampak kepada sektor riil yang meningkat. Sektor riil yang meningkat diyakini bisa memberikan dampak kepada ekspor yang meningkat.
Namun ternyata hasilnya sejauh ini malah menunjukkan ketergantungan akan impor yang semakin meningkat. Pertumbuhan investasi di Indonesia juga tak cukup mentereng jika dilihat dari defisit primer (APBN) yang saat ini terus melebar.
Seperti diketahui, pemerintah sejak 2012 terus mengalami defisit primer dalam APBN. Kondisi tersebut sampai saat ini bahkan masih berlangsung di APBN 2018, di mana defisit anggaran mencapai Rp 37,4 triliun per akhir Januari 2018 atau 11,4% dari asumsi APBN 2018 yang sebesar Rp 325,9 triliun.
"Yang terjadi, kita semakin tergantung kepada barang-barang impor. Ekspor kita masih tergantung ke komoditas. Artinya tidak ada peningkatan investasi kalau masih hanya mengandalkan ekspor komoditas yang sudah dilakukan sejak 70 tahun kita merdeka. Artinya tidak ada efektifitas dari belanja pemerintah yang dibiayai utang tadi," pungkasnya.