Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan gejolak global tersebut seperti kenaikan Fed Fund Rate (FFR) yang bakal dilakukan Bank Senteral Amerika Serikat (AS).
"Walaupun kita dapat peningkatan rating surat utang, tapi di sisi lain ada tekanan eksternal kenaikan Fed Fund Rate, peningkatan ini berimplikasi terhadap naiknya yield (imbal hasil) surat utang AS," kata Faisal saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Kamis (26/4/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyebut yield surat utang negeri Paman Sam itu sudah naik 46,7 basis poin sejak 1 Januari sampai 19 April 2018. Yield surat utang AS pun kembali meningkat ketika The Fed menaikan suku bunganya.
"Jadi sepertinya investor sudah mulai jual obligasi pemerintah RI yang mereka pegang. Tapi mereka juga lagi wait and see, mungkin menunggu pemerintah RI menaikkan yield dulu baru mereka masuk lagi," ungkap dia.
Sementara itu, ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan pelaku pasar banyak yang menahan diri sampai dengan adanya kejelasan mengenai sikap Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga atau tidak.
"Jadi kebanyakan pelaku pasar menahan diri, menunggu perkembangan. Jadi itu kenapa agak sepi peminat," ungkap David.
Menurut David, ada sinyal yang diberikan BI untuk menaikan suku bunga acuannya jika memang diperlukan oleh pasar. Mengenai peningkatan rating surat utang Indonesia menjadi salah satu yang dilihat oleh para investor, namun hal itu berlaku untuk jangka menengah dan panjang.
Untuk hariannya, lanjut David, para investor lebih menanti aksi kebijakan yang diambil Bank Indonesia dan pemerintah dalam mendorong perbaikan data-data perekonomian nasional.
"Tadi BI sudah memberikan sinyal tapi dari sisi pemerintah kan belum ada kebijakan apa yang mau dilakukan, terkait APBN bagaimana," kata David. (dna/dna)