Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, bagi investor, yang terpenting adalah tingkat pengembalian investasi secara nyata.
"Biasanya kan kalau investor asing itu atau investor secara umum itu mempertimbangkan juga real return-nya dia," kata dia saat dihubungi detikFinance, Rabu (2/5/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Real return investasi yang dimaksud adalah selisih antara tingkat pengembalian investasi dengan besaran inflasi. Misalkan, tingkat pengembalian investasi satu negara adalah sebesar 5%, dan tingkat inflasi 3%. Maka real return investasinya adalah sebesar 2%.
Semakin tinggi inflasi, kata Josua, bisa mengurangi real return yang pada akhirnya bisa mengurangi minat para investor menanamkan uangnya di satu negara.
"Ekspektasi return-nya itu kan di kurangi dulu dengan inflasi. Jadi kalau inflasi itu tinggi, dia akan memburuk juga nilai investasinya dia. Nilai investasi dari investor ini di satu negara makanya investasi itu akan cenderung lebih positif khususnya buat inflasi yang di negara yang tingkat inflasinya terkendali," kata dia.
Investasi akan menjadi tidak menarik, bila inflasi satu negara terlalu tinggi meskipun tingkat imbal hasil atau pengembalian investasinya menjanjikan.
"Oke memang menguntungkan kalau kita investasi di satu negara yang potensial misal Thailan atau Filipina yang return-nya 8%, tapi inflasinya tinggi 7%. Delapan Persen dikurangi 7%, real-nya itu hanya 1%. Jadi kalau misalnya kalah invetsi juga cenderung lebih ketimbang di negara negara yang inflasinya lebuh terkendali," tambah dia.
Sehingga menurutnya, langkah pemerintah yang berhasil mengendalikan inflasi dipandang sebagai hal yang positif. Meskipun ada pekerjaan rumah (PR) lain yang tidak bisa diabaikan yakni memperbaiki tingkat pengembalian investasi sehingga investor tertarik menanamkan dananya di tanah air. (dna/dna)