Ekonom Indef Bhima Yudhistira melihat fundamental perekonomian Indonesia saat ini tak begitu baik. Selain itu terjadi pengetatan ekonomi maupun moneter global. Hal ini bisa membuat rupiah tersungkur ke Rp 15.000 per dolar AS hingga akhir tahun.
"Yang kita khawatirkan kalau kondisi fundamental memburuk, ada pengetatan ekonomi atau moneter global, ini dolar bisa bergerak naik terus Rp 14.100, Rp 14.200, sangat mungkin menuju Rp 15.000 pada akhir 2018," katanya dalam diskusi Nasib Perusahaan "Plat Merah di Bawah Kebijakan Rini Soemarno, di Hotel Sofyan Inn, Tebet, Jakarta, Minggu (13/5/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi Bhima menilai Bank Indonesia (BI) cukup responsif dengan rencana menaikkan suku bunga 7 Days Reverse Repo. Walaupun dianggap sudah terlalu terlambat, ini bisa menahan pelemahan rupiah.
"Karena sekarang sudah terlambat, kita inginkan bunga acuannya kalau bisa segera dilakukan penyesuaian 25-50 basis poin. Efeknya kalau bunga acuannya naik, maka return atau imbal hasil dari beberapa instrumen investasi dalam negeri akan lebih menarik bagi investor asing," jelasnya.
Jika hal itu dilakukan, tak menutup kemungkinan rupiah bertahan di level Rp 13.800-Rp 13.900 terhadap dolar AS sampai akhir tahun.
"Nah ketika mereka (investor) kembali lagi, artinya permintaan rupiah menjadi lebih baik, dan itu setidaknya bisa kembali ke Rp 13.800-Rp 13.900, stabil sampai akhir tahun itu bisa kurang lebih," sebutnya.
Mengenai keterlambatan BI menyesuaikan suku bunga acuan, dinilai Bhima membuat cadangan devisa negara banyak terkuras.
"Andai kata pada Maret ketika Fed Rate naik 25 basis poin kita langsung respons dengan kenaikan 25 basis poin 7 Days Reverse Repo itu, maka shock dari kapital itu bisa menjadi berkurang atau tertahan ya. Nggak sampai kayak sekarang, dan cadangan devisa kita mungkin tidak akan tergerus," tambahnya. (zlf/zlf)