Menurut Ekonom Bank Permata Josua Pardede untuk melihat bahaya atau tidaknya utang suatu negara tidak bisa hanya dilihat dari nominalnya saja. Prabowo sendiri menyebut bahwa utang Indonesia sudah mencapai Rp 9.000 triliun.
Josua menjelaskan untuk melihat kondisi berbahayanya utang negara dari rasio-rasio utang yang ada. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total utang pemerintah per Mei 2018 sebesar Rp 4.169,09 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tonton video 'Prabowo: Celaka! Total Utang Kita Nyaris Rp 9.000 Triliun'
Selain itu, menurut Josua harus dilihat juga dari jenis utang yang diemban oleh suatu negara apakah lebih banyak dari utang bilateral dengan lembaga atau negara, atau penerbitan surat berharga negara (SBN).
"Utang bilateral cenderung menurun. Berarti pemerintah aware mengurangi ketergantungan utang bilateral dan memilih terbitkan SBN. SBN lebih baik karena risikonya lebih rendah dibanding utang bilateral," tuturnya.
Total utang pemerintah per Mei 2018 sebesar Rp 4.169,09 triliun berasal dari pinjaman yang nilainya Rp 767,82 triliun. Dalam pinjaman terdapat yang sifatnya bilateral Rp 322,01 triliun, multilateral Rp 397,80 triliun, komersial Rp 41,38 triliun, dan suppliers sebesar Rp 1,22 triliun. Lalu ada juga yang berasal dari pinjaman dalam negeri yang sebesar 5,40 triliun.
Selanjutnya utang yang berasal dari surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 3.401,77 triliun, yang terdiri dari SBN berdenominasi rupiah sebesar Rp 2.408,40 triliun dan denominasi valas sebesar Rp 766,63 triliun.
"Dulu waktu 1998 kita punya utang dari IMF itu cost-nya jauh lebih besar dibanding terbitkan surat utang. Apalagi kita sudah layak investasi, jadi cost-nya juga lebih rendah dan prudent," tambahnya.
Lalu yang terakhir, menurut Josua, utang negara akan lebih baik jika dimanfaatkan untuk hal yang produktif. Pemerintahan Jokowi sendiri mengklaim bahwa utang negara difokuskan untuk pembangunan infrastruktur. (ara/ara)