Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan untuk menerapkan PP tersebut dibutuhkan aturan teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK), jika tidak, akan ada kerancuan dalam penerapannya.
"Sebenarnya PMK itu mengatur teknis saja. Misalnya di PP 23 itu bagi WP (Wajib Pajak) UMKM yang memilih tidak menggunakan skema 0,5% wajib memberitahukan. Nah pemberitahuannya dengan apa, caranya bagaimana, kapan, ini belum diatur," kata Prastowo kepada detikFinance, Rabu (4/7/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya guru piano, dia buka les tidak boleh pake karena dia termasuk ahli. Tapi misalnya ada usaha les piano, dia jadi pemiliknya dan mempekerjakan orang lain, itu boleh menggunakan. Nah yang begini perlu penegasan," terangnya.
Tanpa PMK, kata Yustinus, mungkin WP UMKM yang sudah menikmati PPh final 1% yang bisa menikmati penurunan tarif, namun kebijakan ini masih rancu bagi WP UMKM baru.
"Jadi belum bisa dilaksanakan, itu masih norma dan bisa multi tafsir, bisa standar ganda. Yang diharapkan PMK itu memberikan kepastian," tambah Prastowo.
Sebelumnya Presiden Jokowi meluncurkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sebagai pengganti atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
Pokok perubahan pengaturannya adalah sebagai berikut:
- Penurunan tarif PPh Final dari 1% menjadi 0,5% dari omzet, yang wajib dibayarkan setiap bulannya;
- Mengatur jangka waktu pengenaan tarif PPh Final 0,5% adalah sebagai berikut :
- Untuk wajib pajak Orang Pribadi yaitu selama 7 tahun;
- Untuk wajib pajak Badan berbentuk Koperasi, Persekutuan Komanditer atau Firma selama 4 tahun;
- Untuk wajib pajak Badan berbentuk Perseroaan Terbatas selama 3 tahun. (hns/hns)