Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan sejak Januari 2018, hingga saat ini pihaknya telah menerima lebih dari 50 pengaduan kredit online. Kebanyakan dari keluhan yang disampaikan adalah dari mulai dari cara menagih, hingga sistem perhitungan bunga dan denda yang tidak jelas.
"Bentuk penagihan yang sering dilakukan adalah dengan cara mengancam hingga menagih lewat orang yang nomor handponnya ada di daftar kontak di seluler milik konsumen," tuturnya melalui keterangan tertulis yang diterima detikFinance, Selasa (3/7/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tulus menambahkan, berdasarkan pengamatannya banyak dari pelaku kredit online yang diadukan belum terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurutnya hal iti tentu sangat berisiko bagi para peminjam.
"Jika pemberi pinjaman online tidak terdaftar di OJK maka dia tidak dinaungi oleh OJK dan aturan terkait pinjam meminjam secara online tersebut," tambahnya.
Namun, jika pihak kredit online yang sudah terdaftar terbukti melakukan pelanggaran yang merugikan konsumen, YLKI berharap OJK mengambil tindakan tegas dengan membatalkan proses perizinannya.
"Maraknya cara penagihan kredit online yang dilakukan dengan menghubungi nomor kontak yang ada di handphone konsumen sebagai penerima pinjaman, adalah tindakan yang tidak pantas dan diduga kuat menyalahgunakan data pribadi," tegasnya.
YLKI juga menilai dengan sistem validasi online maka riskonya sangat tinggi bagi perusahaan kredit online. Meski begitu diharapkan para perusahaan kredit online dalam melakukan penagihan merujuk pada cara menagih yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP.
"Atas masalah ini YLKI meminta OJK, Kominfo maupun Bareskrim Mabes POLRI untuk segera mengantisipasi hal ini agar tidak banyak konsumen yang menjadi korban. Juga bertindak tegas pada penyelenggara yang menyalahgunakan data pribadi konsumen. OJK seharusnya melakukan edukasi kepada konsumen terkait prinsip kehati-hatian pada data pribadinya," tutupnya. (fdl/fdl)