Di samping itu, dia menyebut ada pelarangan Antibiotic Growth Promoters (AGP) dan Ractopamine dalam pakan peternak juga menjadi salah satu penyebabnya. Harga telur dan daging ayam menjadi mahal karena telur zero residu AGP.
"Pengaruh yang cukup signifikan sebenarnya bukan pada pelarangan AGP, karena peternak sudah banyak melakukan substitusi sebagai pengganti pemakaian AGP. Menurut peternak layer, justru penyakit koksi yang terbesar pengaruhnya dalam menurunkan produksi", jelas Diarmita dalam keterangan tertulis, Selasa (17/7/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga melanjutkan, faktor lain penyebab kenaikan harga telur dan juga daging ayam ras pasca Lebaran. Faktor pertama adalah karena terjadi lonjakan kebutuhan telur secara nasional terkait beberapa program pengadaan telur langsung untuk masyarakat miskin dan KJP DKI.
Kemudian, faktor kedua, bagusnya harga daging ayam pada saat lebaran, sehingga banyak peternak melakukan afkir dini ayam petelur atau layer untuk dijual dagingnya.
Adapun soal pelarangan AGP, Diarmita mengatakan hal itu dilakukan agar kualitas produk protein hewani asal Indonesia mendapatkan pengakuan di mata dunia.
AGP diketahui dilarang oleh World Health Organization (WHO) yang dikhawatirkan terjadi resistensi antibiotik. Kewaspadaan WHO itu didasari pada keprihatinan bahwa tidak kurang dari 700 ribu orang meninggal setiap tahun karena resisten terhadap antibiotika.
Sebagai langkah awal, Diarmita mengungkap akan segera melakukan penghitungan ulang prognosa kebutuhan telur dan ayam ras. Selanjutnya pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk melakukan pengkajian harga.
"Koordinasi dilakukan antara lain untuk mengkaji kembali harga acuan telur dan ayam ras tingkat produsen maupun konsumen," ungkapnya.
Dari sisi pasokan, ia menjelaskan bahwa produksi telur untuk tahun ini masih dalam kondisi surplus. Berdasarkan data Kementan, produksi telur bulan Januari-Mei 2018 ada sebanyak 733.421 ton. Sementara kebutuhan telur pada periode yang sama sebanyak 722.508 ton.
"Melihat data produksi dan kebutuhan nasional, maka ini artinya ada surplus produksi telur dari Januari hingga Mei 2018 sebanyak 10.913 ton," sebut Diarmita.
Kondisi surplus juga terjadi untuk bulan Juni kemarin. Diarmita mengatakan produksi telur ayam pada bulan tersebut mencapai 153.450 ton, masih melebihi kebutuhan yang berada pada kisaran 151 ribu ton.
Sehingga berdasarkan kondisi pada bulan Januari hingga Juni tahun ini, total terhadap surplus telur sebanyak 13.197 ton di akhir bulan lalu. Dengan begitu, pihaknya memastikan tidak ada kekurangan produksi telur sampai bulan Juni 2018. (mul/ega)