"Kita boleh lihat teman-teman baik dari pemerintahan maupun dari Inalum kan sudah memberikan banyak penjelasan soal ini. Saya kira, mari kita serap sama-sama dan kita lihat bagaimana melihat Freeport itu lima puluh tahun ke depan. Jadi dengan modal yang kita lakukan sekarang ini berupa corporate action, ini saya kira merupakan awal. Mari kita lihat ke depannya," ujar Tino dalam keterangan tertulis, Kamis (9/8/2018).
Ia juga berpendapat proses divestasi ini sudah tepat dilakukan Inalum yang merupakan BUMN, bukan instansi pemerintah, sebab lebih jelas dalam memperhitungkan dari unsur ekonomi dan usahanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan corporate action sekarang saja sudah baik, jadi menempatkan business conduct itu menjadi business-to-business, tidak business-to-government. Kalau business to business, akan jauh lebih gampang mengukurnya. Jadi tidak ada unsur-unsur lain selain perhitungan perekonomian dan pengusahaannya," imbuh Tino.
Ia berharap langkah yang diambil oleh pemerintah melalui Inalum adalah untuk keuntungan Indonesia.
Pandangan serupa juga diungkapkan ahli pertambangan dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Iwan Munajat. Menurutnya penambangan grasberg menggunakan dua metode yaitu open pit dan metode tambang bawah tanah yang disebut block caving. Metode block caving mengisyaratkan bahwa penambangan harus terus dilakukan tanpa henti karena kemungkinan besar untuk runtuh.
Kondisi tersebut akan menimbulkan kerugian yang besar baik bagi Freeport maupun Indonesia. Oleh karena itu, jika dilakukan pengalihan penambangan, maka kedua pihak akan merugi. Dia menilai peralihan penambangan Freeport bukanlah pilihan dalam proses divestasi ini sebab untuk saat ini SDM Indonesia masih belum mampu mengelola secara mandiri.
"Sistemnya, operasionalnya, maintenance-nya, terus terang itu masih dipegang sama orang luar. Nah, bukannya kita tidak mampu, tapi saat ini belum." ujarnya.
Saksikan juga video 'Blak-blakan Budi Sadikin: Rp 55 T Demi Rebut Freeport':
(idr/ara)