Sekertaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Nur Khabsyin menilai alokasi impor gula rafinasi yang sebenarnya dikhususkan bagi industri tersebut terlalu banyak, sehingga berpotensi merembes ke pasar sebagai gula konsumsi.
Gula kristal rafinasi yang merembes di pasaran membuat posisi gula petani semakin tertekan, dan menjadi kurang laku.
Baca juga: Stok Gula Nasional Berlebih, Perlukah Impor? |
Berdasarkan hasil penelusuran APTRI, Gula rafinasi ditemukan diperjualbelikan secara bebas di berbagai toko sebagai gula konsumsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kejadian serupa juga ditemukannya di Banjarmasin. Dimana gula rafinasi produksi PT Berkah Manis Makmur dijual di CV Mubarak. Dugaan rembesan gula rafinasi juga melanda Tangerang, dan Cianjur. Rembesan GKR diduga berasal dari tiga perusahaan.
"Biar selanjutnya diusut Bareskrim", ujar Sekretaris Jenderal APTRI Nur Khabsyin dihubungi detikFinance belum lama ini.
Masalah rembesan Gula rafinasi menjadi permasalahan yang berulang. Gula rembesan itu merugikan para petani gula karena mengakibatkan harga gula produksi mereka jatuh, sedangkan biaya produksi terus naik.
Pasokan gula yang melimpah tentu akan membuat harganya jadi menurun. Sehingga, selain dirugikan karena produksi mereka terancam tak terserap, petani juga dihadapkan pada ancaman rendahnya harga gula.
Berdasar data APTRI, pada 2016, harga tertinggi gula konsumsi yaitu Rp 11.200/Kg dan terendah Rp 9.250/Kg. Pada 2017 kemudian harga terendah menjadi Rp9.200/Kg kemudian nilai tertinggi Rp 11.000/Kg. Sementara itu pada tahun 2018, harga terendah sebesar Rp 9.150/Kg dan tertinggi sebesar Rp 9.950/Kg. (dna/zlf)