Rupiah, Dolar AS dan Ingatan Krisis 98

Rupiah, Dolar AS dan Ingatan Krisis 98

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Rabu, 05 Sep 2018 07:46 WIB
Rupiah, Dolar AS dan Ingatan Krisis 98
Jakarta - Nilai dolar AS masih mengalami penguatan terhadap Rupiah. Dolar AS hampir menyentuh angka Rp 15.000 (berdasarkan perdagangan Reuters Selasa, 4/9).

Kalangan bankir dan ekonom menyebutkan tekanan yang pada Rupiah saat ini terjadi karena faktor eksternal. Yaitu akibat krisis yang melanda Turki dan Argentina. Sialnya, Indonesia masih masuk dalam kategori negara berkembang yang memiliki isu pelebaran defisit neraca transaksi berjalan, jadi efek krisis yang terjadi di kedua negara tersebut juga terasa ke Indonesia.

Selain itu, Bank sentral AS, The Federal Reserve juga memiliki rencana untuk menaikkan lagi tingkat bunga acuannya. Memang, The Fed sudah memberikan sinyal kenaikan ini jauh-jauh hari. Tapi pasar tetap saja harus tetap diwaspadai adanya aliran modal keluar dari Indonesia, karena tingkat bunga di AS yang lebih menarik.

Meskipun begitu, kondisi ekonomi Indonesia saat ini dinilai masih cukup baik, mulai dari angka inflasi yang rendah dan angka kemiskinan yang menurun hingga peringkat surat utang pemerintah yang baik dengan predikat Investment Grade beda dengan periode 98 yang predikatnya junk.

Sehingga, ketakutan ancaman krisis seperti periode 1998 rasanya harus dihilangkan. Banyak perbedaan antara krisis 98 dan kondisi saat ini.

Bank Indonesia (BI) berupaya untuk membuat benteng pertahanan dengan melakukan intervensi ganda di pasar valuta asing dan pasar obligasi. BI juga meminta kepada korporasi untuk melepas dolar AS nya dan memegang Rupiah. Pemerintah juga melakukan upaya dengan menahan impor agar permintaan dolar AS tak semakin besar.

Masyarakat yang ingin membantu mata uang garuda supaya kuat melawan lembaran uang kertas hijau asal negeri Paman Sam itu juga bisa ikut serta.

Berikut ulasannya :
Ekonom PermataBank Josua Pardede menjelaskan nilai tukar rupiah cenderung melemah terhadap dolar AS, ini karena mengikuti pelemahan sebagian besar negara berkembang setelah pernyataan Trump yang mengatakan akan mengenakan tarif impor sebesar US$ 200 miliar produk Tiongkok pada pekan ini.

Josua menyampaikan, selain itu, penguatan dollar AS juga ditopang oleh beberapa data ekonomi AS yang positif pada pekan lalu antara lain data produk domestik bruto (PDB) kuartal II 2018 dan data pengeluaran konsumsi pribadi inti.

Menurut dia data AS yang positif tersebut meningkatkan probabilitas kenaikan suku bunga AS pada rapat FOMC pada bulan September yang akan datang.

"Selain itu, sentimen negatif pada mata uang negara berkembang dipengaruhi oleh krisis mata uang Turki dan Argentina. Sentimen negatif pada kedua negara tersebut juga merembet pada negara-negara berkembang yang mengalami isu pelebaran defisit antara lain India dan Indonesia," kata Josua saat dihubungi detikFinance, Selasa (4/9/2018).

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara juga menjelaskan tekanan krisis yang terjadi di Turki dan Argentina merambat ke negara berkembang. Ini disebut menimbulkan kekhawatiran para pelaku pasar global.

Kondisi ini menurut Bhima diperparah oleh rencana kenaikan Fed rate pada akhir September ini. Akibatnya investor melakukan flight to quality atau menghindari resiko dengan membeli aset berdenominasi dolar.

"Indikatornya US Dollar index naik 0,13% ke level 95,2. Dolar index merupakan perbandingan kurs dolar AS dengan 6 mata uang lainnya," ujar Bhima.

Sementara itu dari dalam negeri kinerja perdagangan kurang optimal. Neraca perdagangan terus mengalami defisit. Hal ini berimbas juga pada defisit transaksi berjalan yang menembus 3% pada kuartal II 2018.

"Artinya pelemahan rupiah diproyeksi akan berlanjut hingga tahun depan dan menembus batas psikologis 15.000 pada akhir 2018. Tahun 2019 harus diwaspadai kebijakan bunga acuan Fed yg akan naik 3 kali lagi bisa memicu pelemahan kurs lebih dalam," ujar Bhima.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menjelaskan kondisi Indonesia saat ini tidak mirip dengan era 97-98. Menurut dia 20 tahun lalu ada masalah politik yang kuat dan terlalu runyam.

"Kalau sekarang Indonesia, sepenuhnya masalah ekonomi dan sentimen global," kata Jahja kepada detikFinance, Selasa (4/9/2018).

Jahja mengharapkan, isu ekonomi ini tidak dijadikan bahan untuk politik, meskipun di dunia politik semua cara dihalalkan.

"Harapan saya jangan lah, kalau NKRI hancur kan kita rakyat sama-sama menanggung rugi, padahal sekarang lagi bagus. Menurut saya, kalau tidak ada faktor eksternal atau global ini Indonesia masih bagus ekonominya, tidak ada yang mengganggu kepercayaan masyarakat," ujarnya.

Ekonom PermataBank Josua Pardede menjelaskan, saat ini nilai tukar sebagian negara berkembang cenderung terkoreksi terhadap dolar AS, namun kondisi ini masih jauh dari krisis 1998.

Dia menjelaskan kondisi fundamental perekonomian Indonesia sekarang sangat berbeda dengan kondisi fundamental pada tahun 1998. Saat itu krisis yang berawal dari krisis mata uang Thailand Bath juga diperburuk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak prudent karena sebagian utang luar negeri swasta tidak memiliki instrumen lindung nilai.

Josua mengungkapkan, saat itu penggunaan utang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta utang luar negeri yang dipergunakan untuk pembiayaan usaha yang berorientasi domestik.

"Krisis utang swasta pada 1997-1998 tersebut yang mendorong tekanan pada rupiah di mana tingkat depresiasi rupiah mencapai sekitar 600% dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, yaitu dari Rp 2.350 per dolar menjadi Rp 16.000 per dolar," kata Josua.

Sementara jika melihat kondisi fundamental Indonesia pada tahun ini, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati dimana Bank Indonesia juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.

"Pengelolaan yang lebih baik dari utang luar negeri swasta terlihat dari pertumbuhan utang jangka pendek yang cenderung rendah," ujar dia.

Selain itu, jika volatilitas nilai tukar rupiah cenderung meningkat, BI diperkirakan akan kembali lagi memperketat kebijakan moneternya dalam jangka pendek ini untuk meningkatkan kepercayaan pelaku pasar.

Mempertimbangkan perbaikan fundamental ekonomi, afirmasi dari Fitch terhadap peringkat utang Indonesia yang masih layak investasi dengan outlook stable, maka pemerintah dan BI diperkirakan akan dapat mengelola stabilitas rupiah sehingga dapat meredam pelemahan rupiah di bawah level Rp 15.000 per dolar AS.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan kondisi saat ini dan 98 berbeda. Meskipun sama-sama dipicu krisis mata uang negara berkembang. Saat 1998 krisis dimulai dari Thailand dan tahun ini dimulai dari Turki dan Argentina.

Menurut Bhima, dari kesiapan Indonesia menghadapi krisis terlihat dengan perbaikan rating utang yang signifikan. Tahun 1998 rating Fitch anjlok hingga B- dengan outlook Negatif. Tahun 2018 per September Fitch memberikan rating utang BBB dengan outlook Stabil.

Kemudian kinerja pertumbuhan ekonomi 1998 merosot ke -13,6%. Saat ini pertumbuhan ekonomi berada di 5,2% per triwulan II 2018. Inflasi sempat naik hingga 77% saat krisis moneter.

"Sekarang cukup stabil di bawah 3,5%. Pelemahan kurs rupiah belum terlihat dampaknya pada Agustus 2018 yang justru mencatat deflasi," imbuh dia.

Kemudian cadangan devisa tahun 1996 sebelum krisis berada di angka US$ 18,3 miliar. Saat ini cadev di kisaran US$ 118,3 miliar.

"Kemampuan BI untuk intervensi rupiah melalui cadangan devisa jauh di atas kemampuan tahun 1996 sebelum menghadapi krisis," ujarnya.

Meskipun beberapa indikator menunjukkan perbaikan. Tapi pemerintah harus mewaspadai defisit transaksi berjalan yang menembus 3% pada kuartal II 2018.

"Negara dengan defisit transaksi berjalan sangat rentan terpapar krisis ekonomi. Seperti Turki dan Argentina yang kedua nya memiliki defisit transaksi berjalan yang cukup lebar," imbuh dia.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan selain karena faktor global, faktor domestik juga bisa mempengaruhi hal tersebut.

Misalnya, kondisi kinerja perdagangan Indonesia kurang optimal. Neraca perdagangan terus mengalami defisit. Menurut Bhima hal ini akan mempengaruhi defisit transaksi berjalan yang kuartal II 2018 tembus 3%.

"Artinya tekanan nilai tukar diproyeksi akan berlanjut hingga tahun depan dan menembus batas psikologis Rp 15.000 pada akhir 2018, tahun 2019 harus diwaspadai juga kebijakan bunga acuan Fed yang akan naik tiga kali lagi. Ini yang bisa memicu pelemahan kurs lebih dalam," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Selasa (4/9/2018).

Dia menjelaskan, tekanan terhadap Rupiah ini paling banyak dipengaruhi tekanan krisis Turki dan Argentina yang merembet ke negara berkembang menimbulkan kekhawatiran para pelaku pasar global.

"Kondisi diperparah oleh rencana kenaikan Fed rate pada akhir September ini. Akibatnya investor melakukan fight to quality atau menghindari resiko dengan membeli aset berdenominasi dolar AS. Indikatornya US Dollar index naik 0,13% ke level 95,2. Dolar index merupakan perbandingan kurs dolar AS dengan 6 mata uang lainnya," imbuh dia.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menjelaskan tekanan yang terjadi pada Rupiah merupakan faktor eksternal.

"Kalau dulu itu geraknya cepat sekali, cepaaat sekali. Hanya dalam beberapa bulan dari kisaran Rp 2.000 di November 1997 jadi Rp 16.000 di 1998. Sekarang kan sedikit-sedikit, memang kita tidak bisa prediksi akan berhenti di mana, lagi-lagi karena faktor eksternal," ujar Jahja.

Menurut Jahja, kondisi saat ini sangat jauh berbeda dengan periode 1997-1998. Saat itu inflasi tinggi, BI menaikkan bunga acuan terlalu cpat, Rupiah tidak terkendali, cadangan devisa RI tidak cukup.

Menurut Jahja, saat itu pengawasan penjualan dolar AS sangat longgar dan menyebabkan spekulan bisa memborong dolar.

"Jadi orang mau beli dolar AS itu gampang sekali. Kalau sekarang kan mau beli banyak ditanya dulu underlyingnya mana? Kalau butuh buat impor harus jelas dulu peruntukkannya apa. Kalau dulu susah, jadi meskipun bunga naik 60% itu ya tidak akan menolong karena orang tetap spekulasi. Kalau sekarang tidak seperti itu dan bisa dikendalikan," imbuh dia.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, meskipun ada tekanan pada Rupiah, masyarakat bisa melakukan aktivitas ekonomi seperti biasa.

"Kalau ada yang punya dolar AS bisa dijual dan ditukar ke Rupiah untuk membantu penguatan kurs," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Selasa (4/9/2018).

Masyarakat juga harus tetap percaya jika ekonomi Indonesia saat ini masih tetap terjaga. Karena pemerintah dan BI akan responsif dan memperkuat komunikasi.

Sementara itu, Ekonom PermataBank, Josua Pardede menjelaskan jika ingin membantu penguatan Rupiah, masyarakat Indonesia bisa menahan dulu keinginan untuk jalan-jalan ke luar negeri.

"Mungkin bagi orang Indonesia, bisa ditunda dulu atau ditahan dulu liburan ke luar negerinya. Bisa domestik trip dulu," ujar Josua.

Josua mengatakan, masyarakat umum tidak perlu panik dan pelaku pasar diharapkan tidak melakukan aksi spekulasi yang akan mendorong penguatan dollar AS lebih lanjut lagi.

Keyakinan pada masih solidnya fundamental ekonomi Indonesia serta keyakinan bahwa Bank Indonesia akan selalu berada di pasar dan akan melakukan langkah-langkah stabilisasi rupiah tentunya akan efektif membatasi pelemahan nilai tukar rupiah.

Selain itu, jika masyarakat memiliki dolar AS lebih baik dilepas atau dijual terlebih dahulu.

"Kalau bahasa marketnya take profit dulu, tukar dulu ke Rupiah dolar AS nya," jelas dia.

Josua menjelaskan saat ini BI dan pihak terkait juga berupaya untuk mendorong pengembangan sektor pariwisata yang diharapkan dapat mempercepat penerimaan devisa yang pada gilirannya dapat memperbaiki defisit transaksi berjalan yang pada akhirnya akan mendorong stabilitas nilai tukar rupiah dalam jangka pendek ini.

"Selain itu, jika volatilitas nilai tukar rupiah cenderung meningkat, BI diperkirakan akan kembali lagi memperketat kebijakan moneternya dalam jangka pendek ini untuk meningkatkan kepercayaan pelaku pasar," kata dia.

Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perbaikan fundamental ekonomi, afirmasi dari Fitch terhadap peringkat utang Indonesia yang masih layak investasi dengan outlook stable, maka pemerintah dan BI diperkirakan akan dapat mengelola stabilitas rupiah sehingga dapat meredam pelemahan rupiah di bawah level Rp15.000 per dolar AS.

Ekonom PermataBank Josua Pardede menjelaskan kebutuhan dolar AS di Indonesia memang sangat tinggi.

"Kalau kita lihat dari data neraca transaksi berjalan defisit, kebutuhan dolar AS itu tinggi untuk impor minyak dan gas (migas)," kata Josua saat dihubungi detikFinance, Selasa (4/9/2018).

Dia menjelaskan, defisit juga diikuti dari sektor transaksi jasa karena pembayaran jasa transportasi seperti pengiriman barang dan penumpang. Kemudian Indonesia juga mengalami defisit pendapatan primer yakni pembayaran bunga pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta.

Dari data NPI yang diterbitkan BI periode Agustus 2018 transaksi berjalan di bagian migas tercatat defisit US$ 2,74 miliar. Ini artinya memang lebih banyak impor migas dibandingkan ekspor. Untuk ekspor migas tercatat sebesar US$ 4,47 miliar sedangkan untuk impor migas sebesar US$ 7,22 miliar.

Kemudian untuk sektor jasa tercatat defisit US$ 1,7 miliar. Dengan rincian ekspor sebesar US$ 6,4 miliar dan impor US$ 8,27 miliar.

Josua menjelaskan, untuk mengatasinya harus dilakukan pembatasan impor. Namun harus diperhatikan pula, pembatasan impor barang yang tidak produktif dan yang diproduksi di dalam negeri juga bisa menekan impor.

Selain itu aturan kewajiban penggunaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) juga sangat potensial untuk mengerem impor.

"Jadi pembatasan impor tidak menyeluruh untuk seluruh produk," ujar dia.

Selain itu, rencana penundaan pembangunan infrastruktur yang memiliki konten impor yang tinggi juga dinilai dapat mengelola kebutuhan impor barang modal.

"Aturan pembatasan impor tersebut perlu dilakukan secara hati-hati sedemikian sehingga tidak makin membebani sektor industri dalam negeri yang kegiatan produksi nya akan terganggu apabila bahan baku atau material utama juga turut dibatasi," kata Josua.

Bulan lalu, Bank Indonesia (BI) mencatatkan defisit neraca pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2018 sebesar US$ 4,3 miliar. Sebelumnya defisit NPI sebesar US$ 3,9 miliar. BI memperkirakan NPI hingga akhir tahun bisa membaik dan mampu menopang ketahanan sektor eksternal.

Pemerintah juga terus memperkuat sektor pariwisata, terutama di empat daerah wisata prioritas untuk mendukung neraca transaksi berjalan.

BI terus mencermati perkembangan global yang dapat mempengaruhi prospek NPI, antara lain ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi, kecenderungan penerapan inward-oriented trade policy di sejumlah negara, dan kenaikan harga minyak dunia.

Kemudian BI juga terus memperkuat bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi, serta memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah dalam mendorong kelanjutan reformasi struktural.

Hide Ads